Wartawan Kehormatan

2025.03.05

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Hurum Maqshuro dari Indonesia
Foto: Hurum Maqshuro

Ilustrasi Gerakan Kemerdekaan Satu Maret yang berada di Gang Jung-gu, Kota Daegu.

Ilustrasi Gerakan Kemerdekaan Satu Maret yang berada di Gang Jung-gu, Kota Daegu.


Gerakan Kemerdekaan Satu Maret merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Korea yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1919. Gerakan ini merupakan perlawanan rakyat Korea terhadap pemerintah kolonial Jepang yang saat itu menguasai Semenanjung Korea.

Gerakan kemerdekaan tersebut terjadi besar-besaran di seluruh penjuru Korea. Rakyat Korea saat itu memprotes kolonialisme dan menuntut kemerdekaan Korea.

Penulis sempat menelusuri sebuah gang yang menjadi rute Gerakan Kemerdekaan Satu Maret di Kota Daegu. Gang ini dihiasi oleh bendera Republik Korea dan lampion tradisional Korea.

Penulis sempat menelusuri sebuah gang yang menjadi rute Gerakan Kemerdekaan Satu Maret di Kota Daegu. Gang ini dihiasi oleh bendera Republik Korea dan lampion tradisional Korea.


Kota Daegu menjadi kota yang terkenal untuk memahami sejarah Gerakan Kemerdekaan Satu Maret. Melalui penelusuran sebuah gang di Jung-gu, penulis mengunjungi beberapa tempat bersejarah sekaligus mengenal lebih dekat dua orang yang terkenal dalam gerakan tersebut, yaitu Lee Sang-hwa dan Seo Sang-don.

Foto di atas menunjukkan Rumah Misionaris Dongsan (kiri) dan Gereja Katolik Gyesan (kanan).

Foto di atas menunjukkan Rumah Misionaris Dongsan (kiri) dan Gereja Katolik Gyesan (kanan).


Perjalanan penulis dimulai dengan menelusuri Jalan Gerakan Kemerdekaan Satu Maret, Gereja Katolik Gyesan, Rumah Tua Lee Sang-hwa dan Seo Sang-don serta Pusat Pengalaman Budaya Modern Gyesan Yega.

Puisi Apakah Musim Semi Akan Datang ke Tanah yang Dirampas? oleh Lee Sang-hwa menghiasi sebuah tembok pada jalanan menuju kawasan rumah tua Lee Sang-hwa.

Puisi "Apakah Musim Semi Akan Datang ke Tanah yang Dirampas?" oleh Lee Sang-hwa menghiasi sebuah tembok pada jalanan menuju kawasan rumah tua Lee Sang-hwa.


Lee Sang-hwa (1901-1943) merupakan seorang penyair representatif Perlawanan Nasional pada tahun 1920-an yang membangkitkan semangat nasional dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Jepang dengan puisi yang berjudul "Apakah Musim Semi Akan Datang ke Tanah yang Dirampas?"

Puisi ini memiliki makna yang dalam, mengungkapkan kesedihan dan harapan akan pembebasan selama masa penjajahan Jepang di Korea yang dimulai pada tahun 1910.

Foto di atas menunjukkan gerbang rumah tua Lee Sang-hwa (kiri atas), potret Lee Sang-hwa (kanan atas), dan buku berisi puisi Apakah Musim Semi Akan Datang ke Tanah yang Dirampas? (kanan bawah).

Foto di atas menunjukkan gerbang rumah tua Lee Sang-hwa (kiri atas), potret Lee Sang-hwa (kanan atas), dan buku berisi puisi "Apakah Musim Semi Akan Datang ke Tanah yang Dirampas?" (kanan bawah).


Lee Sang-hwa lahir pada tanggal 9 Mei 1901 dari sebuah keluarga terpandang di Daegu. Pada usia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian dididik oleh pamannya yang bernama Lee Ilu di asrama keluarga bernama Woohyun Seoru. Ia lalu masuk ke sekolah Gyeongseong Joongang pada usia 15 tahun.

Lee Ilu merupakan seorang kapitalis nasional yang mengoperasikan Woohyun Seoruf serta menyediakan tempat tinggal bagi murid-muridnya untuk melatih patriot nasional secara sukarela.

Tampak dalam ruang belajar di kediaman Lee Sang-hwa.

Tampak dalam ruang belajar di kediaman Lee Sang-hwa.


Pada tahun 1920-an Lee Sang-hwa dengan berani melepaskan diri dari tren sastra yang didatangkan dari Jepang, yaitu romantisme, simbolisme, dan dekadensi. Lee memusatkan pandangannya terhadap realitas bangsa sehingga melahirkan puisi perlawanan yang mengungkapkan penderitaan bangsa.

Diterbitkan dalam Gaebyeok No.70 pada tahun 1926, "Apakah Musim Semi Datang ke Tanah yang Dirampas?" merupakan karya yang mengekspresikan kesadaran nasional anti Jepang. Puisi ini ditulis dengan alur penderitaan karena tidak dapat melawan, kesedihan mendalam atas perilaku pemerintah kolonial, dan rasa yang kuat untuk menentang pemerintah kolonial Jepang.

Pada tanggal 25 April 1943 Lee meninggal akibat kanker lambung. Untuk menghormati dan mempublikasikan semangat Lee Sang-hwa, Rumah Tua Lee Sang-hwa dipugar pada tahun 2002 oleh warga Daegu, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Agustus 2008.

Potret kediaman Seo Sang-don dari luar. Terdapat pula plakat pencatatan Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional yang tercatat sebagai Warisan Ingatan Dunia oleh UNESCO.

Potret kediaman Seo Sang-don dari luar. Terdapat pula plakat pencatatan Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional yang tercatat sebagai Warisan Ingatan Dunia oleh UNESCO.


Seo Sang-don merupakan seorang nasionalis yang memiliki impian untuk memulihkan kedaulatan nasional. Pada tahun 1906, Kekaisaran Jepang meminjamkan utang yang tidak diinginkan kepada Kekaisaran Korea. Akibatnya, Korea terbebani utang sebesar 13 juta won (saat ini bernilai sekitar 650 miliar won).

Seo menyadari bahwa Korea tidak dapat pulih tanpa membayar kembali utang nasional ini. Oleh karena itu, pada tahun 1907 Seo mengusulkan alasan utama untuk memulihkan kedaulatan nasional dengan membayar kembali utang nasional ini. Awalnya, kampanye ini tidak terlalu diperhatikan, tetapi kemudian dengan cepat menjadi kampanye besar skala nasional.

Foto bagian atas dan kiri bawah menunjukkan bagian dalam dari kediaman Seo Sang-don dan foto sebelah kanan bawah menunjukkan gambaran Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional.

Foto bagian atas dan kiri bawah menunjukkan bagian dalam dari kediaman Seo Sang-don dan foto sebelah kanan bawah menunjukkan gambaran Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional.


Pada tahun 1885 Seo adalah seorang saudagar kaya di Daegu. Ia juga merupakan tokoh penting yang berperan dalam mempromosikan agama Katolik di Daegu melalui pendirian Katedral Gyesan dan gereja lainnya. Ia juga mendukung pendidikan bisnis dengan mendirikan yayasan Haeseongjae yang merupakan sekolah untuk membaca karakter Tiongkok.

Walaupun Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional berakhir dengan kegagalan, tetapi perjuangan ini sangat bermakna dalam sejarah Korea karena menjadi contoh gerakan sukarela yang mempersatukan bangsa untuk memulihkan kedaulatan nasional.

Pada tanggal 31 Oktober 2017 catatan dokumentasi terkait Gerakan Pembayaran Kembali Utang Nasional didaftarkan sebagai Warisan Ingatan Dunia UNESCO. Catatan ini terdiri dari 2.475 buah dokumen pada tahun 1907-1910 yang berisi mengenai awal, perkembangan, dan akhir dari gerakan tersebut.

Mengenal tokoh Lee Sang-hwa dan Seo Sang-don dalam sejarah Gerakan Kemerdekaan Satu Maret memberi penulis kesan yang mendalam tentang semangat perlawanan dan pengorbanan mereka untuk kemerdekaan dan kedaulatan Korea.


margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait