Wartawan Kehormatan

2023.06.14

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Annisa Alifadhila dari Indonesia



Berbicara mengenai Pulau Jeju, hal yang biasanya terpikirkan pertama kali adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan alamnya. Mulai dari Gunung Hallasan, para penyelam wanita, sampai jeruk manisnya yang khas. Jeju memang tak henti-hentinya menunjukan keindahannya dari sisi yang natural.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Joey Rositano, seorang jurnalis independen yang memfokuskan liputannya dalam ranah antropologi dan kebudayaan. Sebagai seorang jurnalis, Joey telah melakukan beberapa penelitian di Pulau Jeju selama belasan tahun terakhir. Dalam penelitiannya yang terbaru, ia mengobservasi bagaimana hubungan antara penduduk Desa Darakut di Pulau Jeju dengan burung gagak yang ikut terlibat dalam berbagai ritual keagamaan warga setempat.

Berkenaan dengan itu, Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) turut mengundang Joey Rositano dalam sebuah sesi kuliah umum humaniora sebagai pembicara pada Kamis, 8 Juni 2023 pukul 15:00 WIB yang dilaksanakan di Multifunction Hall, KCCI. Joey hadir secara virtual, sedangkan para partisipan hadir secara langsung. Penulis juga berkesempatan untuk hadir sebagai salah satu peserta kegiatan ini.

Poster kegiatan kuliah umum humaniora bersama Joey Rositano oleh Korean Cultural Center Indonesia pada 8 Juni 2023 di Multifunction Hall, KCC Indonesia (Annisa Alifadhila)

Poster kegiatan kuliah umum humaniora bersama Joey Rositano oleh Korean Cultural Center Indonesia pada 8 Juni 2023 di Multifunction Hall, KCC Indonesia. (Annisa Alifadhila)


Masyarakat Darakut, Jeju Mugyo, dan Burung Gagak

Joey menyampaikan bahwa kebanyakan penduduk Desa Darakut yang berada di Jeju menganut kepercayaan perdukunan (shamanic). Dalam buku yang dirilis oleh Korea Foundation, Religion in Korea, dijelaskan bahwa kepercayaan perdukunan sendiri adalah fenomena keagamaan tradisional yang terikat dan dekat dengan alam serta dunia sekitarnya.

Dengan menjadi pengikut kepercayaan perdukunan (di sana, kepercayaan ini disebut sebagai Jeju Mugyo), para penduduk Darakut sering mengadakan upacara persembahan yang ditujukan pada leluhur dan dewa yang mereka sembah.

Upacara-upacara itu dilakukan dengan mempersembahkan makanan yang biasanya diletakkan di sebuah pohon keramat, kuil, atau tempat-tempat lainnya yang bisa dianggap sebagai tempat sembahyang. Uniknya, selain memberikan persembahan kepada leluhur dan dewa, para penduduk juga menyisihkan beberapa makanan untuk hewan-hewan yang ada, terutama untuk kawanan burung gagak.

Pohon yang dikeramatkan oleh warga Darakut dan digunakan sebagai salah satu tempat beribadah (Joey Rositano)

Pohon yang dikeramatkan oleh warga Darakut dan digunakan sebagai salah satu tempat beribadah. (Joey Rositano)


Proses Scattering

Joey menamakan proses menyisihkan makanan tersebut sebagai scattering. Secara lebih spesifik, ia menyebutkan bahwa scattering merupakan kegiatan memisahkan makanan yang biasanya ditujukan pada leluhur atau dewa dan memberikan makanan tersebut pada hewan-hewan, terutama burung gagak, yang ada di Darakut. Biasanya makanan tersebut akan dipecah atau dibelah menjadi beberapa bagian kecil sebelum akhirnya disebarkan kepada hewan-hewan yang ada.

Meskipun kegiatan scattering umum dilakukan pada hari-hari biasa, ada hal menarik yang juga menjadi perhatian Joey mengenai kegiatan ini, yaitu bagaimana kawanan gagak bisa menunggu dengan sabar tiap kali masyarakat mengadakan upacara atau ritual yang diadakan beberapa kali dalam setahun.

Joey menceritakan bahwa pada hari upacara para penduduk senior akan bangun di pagi hari untuk menyiapkan persembahan kepada leluhur dan dewa mereka. Persembahan itu berupa makanan (kue beras, telur, jeruk) serta berbagai kebutuhan fisik lainnya (kain, pakaian, uang). Kegiatan ini biasanya dimulai sejak pukul 4 pagi. Di jam ini pula, kawanan gagak masih belum terlihat sama sekali.

Salah satu tokoh masyarakat Darakut sedang menyiapkan makanan yang akan disajikan dalam ritual upacara tahunan di pagi hari (Joey Rositano)

Salah satu tokoh masyarakat Darakut sedang menyiapkan makanan yang akan disajikan dalam ritual upacara tahunan di pagi hari. (Joey Rositano)


Barulah pada kisaran pukul 6 pagi, kawanan gagak mulai terlihat memenuhi area pelaksanaan ritual. Diketahui pula bahwa gagak-gagak ini terbang sejauh kurang lebih 5 kilometer untuk sampai ke tempat upacara. Menariknya, seolah bisa memahami, para gagak akan dengan sabar menunggu sampai kegiatan upacara berakhir sebelum memakan makanan yang juga disajikan untuk mereka.

Scattering secara Ilmiah dan Praktis

Untuk memahami lebih lanjut mengenai fenomena ini, Joey melakukan penggalian lebih jauh dari dua sisi: (1) pendekatan ilmiah, mengumpulkan berbagai literatur terdahulu. (2) pendekatan praktis, mengobservasi langsung dan melalukan wawancara dengan para penduduk setempat.

Dari penelusuran secara literatur melalui beberapa artikel, Joey menemukan fakta bahwa burung gagak dikatakan mampu mengenali wajah manusia. Gagak bisa mengetahui mana orang yang berperilaku baik pada mereka, begitu pula sebaliknya. Gagak juga mampu mengingat lokasi. Disebutkan pula bahwa memori tersebut bisa diturunkan kepada anak-anak mereka.

Selain melalui artikel terkait, Joey juga mengumpulkan data dengan bertanya kepada para pelaksana (practitioner) upacara hingga terjun langsung dalam proses ritual. Seperti yang dikatakan sebelumnya, gagak bisa membedakan siapa orang yang memberi mereka makan dan siapa yang tidak. Untuk itu, Joey berpartisipasi sebagai orang yang tidak memberikan makanan apapun kepada para gagak.

Seperti yang diperkirakan dalam hipotesis awal, para gagak memang memperlakukan Joey dengan berbeda. Ia mengatakan bahwa gagak-gagak itu justru bersikap galak dan tidak sopan kepadanya karena ia tidak memberikan makanan. Berbeda kepada para warga yang sudah terbiasa memberi makan, gagak-gagak itu justru bersikap tenang dan tidak berusaha mengganggu mereka.

Scattering dan Nilai Luhur sebagai Dasarnya

Seperti yang dikatakan sebelumnya, scattering pada dasarnya adalah upaya para masyarakat untuk mengabdikan diri mereka pada leluhur dan dewa yang dipercayai menjaga mereka serta alam di sekitar mereka. Mereka mempercayai bahwa gagak adalah perpanjangan tangan dari leluhur dan dewa yang dianggap bisa mengantarkan doa mereka ke langit jika mereka bersikap baik pada para gagak.

Makanan yang telah disebarkan (scattered) untuk kawanan burung gagak (Joey Rositano)

Makanan yang telah disebarkan (scattered) untuk kawanan burung gagak. (Joey Rositano)


Jika dilihat secara lebih luas lagi, kegiatan ini bukan saja hanya bermakna religius, tapi juga sebagai bentuk simbiosis mutualisme antar makhluk. Selain dianggap sebagai perpanjangan tangan leluhur dan dewa, masyarakat setempat juga ikut berbahagia melihat bagaimana kawanan gagak bisa berbaur dengan baik bersama manusia. Di sisi lain, bagi para gagak, tentunya kebiasaan ini diibaratkan sebagai pesta makanan yang juga merupakan berkah bagi mereka.

Scattering di Kalangan Anak Muda

Salah satu peserta kuliah umum mengajukan pertanyaan kepada Joey terkait partisipasi anak muda dalam kegiatan scattering. Joey menjawab bahwa sebenarnya bukan hanya warga senior, para remaja hingga anak-anak juga turut berpartisipasi dalam ritual ini. Ia mengatakan bahwa anak muda juga ikut melakukan kegiatan ini karena sudah terbiasa memperhatikan orang tua mereka yang selalu melakukannya setiap tahun. Hal yang membedakan adalah, mungkin saja, mereka belum memahami sepenuhnya makna yang terkandung dalam kegiatan scattering.

Tujuan Akhir Penelitian tentang Scattering

Penulis juga berkesempatan mengajukan pertanyaan pada Joey. Penulis bertanya apakah ada pelajaran penting yang Joey pelajari dari mengobservasi dan meneliti scattering selama bertahun-tahun yang ia rasa harus diketahui banyak orang.

Joey menjawab bahwa ada dua hal utama yang ia ingin sampaikan dari penelitiannya. Pertama, meskipun sudah ada banyak agama besar yang tersebar di mana-mana, keberadaan kepercayaan lainnya (terutama shamanism) pada dasarnya juga memberikan kontribusi yang cukup banyak, mengingat kepercayaan seperti perdukunan sudah ada jauh sebelum agama-agama besar muncul. Secara lebih lanjut, Joey menyebutkan ada informasi menarik terkait sejarah identitas manusia (deeper history about human identity) yang bisa digali dari kepercayaan lain seperti Jeju Mugyo.

Kedua, Joey menyampaikan bahwa ia ingin setiap orang mengubah pandangan mereka terhadap hewan. Ia mengatakan bahwa hewan-hewan di sekitar kita sebenarnya turut mengawasi kita. Mereka punya kesadaran untuk membedakan siapa orang yang baik dan tidak. Ia juga menyebutkan bahwa alam semesta pada dasarnya memperhatikan kita, sebagaimana kita memperhatikan mereka. Oleh karena itu, kita harus terus bersikap baik, bukan hanya kepada sesama manusia, tapi juga kepada makhluk lainnya di muka bumi ini.

Seekor burung gagak sedang memakan persembahan yang diberikan untuknya di atas pohon yang dikeramatkan (Joey Rositano)

Seekor burung gagak sedang memakan persembahan yang diberikan untuknya di atas pohon yang dikeramatkan. (Joey Rositano)


Sebagai penutup, Joey menyampaikan bahwa ia senang bisa hadir dalam kegiatan perkuliahan ini untuk berbagi mengenai apa yang sedang ia teliti. Ia mengatakan bahwa praktik seperti yang dilakukan di Darakut hanyalah salah satu dari banyaknya contoh kegiatan dan keyakinan yang bersinggungan dengan alam yang ada di dunia ini. Secara tidak langsung, Joey mengajak kita semua untuk tidak menutup mata dan terus mengeksplorasi keindahan dan keunikan lainnya yang melibatkan sejarah umat manusia.

sofiakim218@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait