Penulis: Wartawan Kehormatan Hurum Maqshuro dari Indonesia
Foto: Hurum Maqshuro
Penulis bersama pelajar asing dari LEI PNU mengunjungi Museum Hangeul yang terletak di kota Gimhae.
Pada kegiatan eksplorasi budaya semester musim semi lalu, penulis bersama pelajar asing lain dari Institut Pendidikan Bahasa (LEI) Universitas Nasional Pusan (PNU) mengunjungi Museum Hangeul Gimhae. Museum tersebut didirikan dengan tujuan memperkenalkan sejarah dan pelestarian bahasa Korea pada saat masa penjajahan Jepang, serta tentang hangeul sebagai salah satu warisan budaya terbesar Korea.
Hunminjeongeum diciptakan oleh Maharaja Sejong. Ia berkata, "Karena bahasa negara ini berbeda dengan Tiongkok, tidak cocok dengan karakter Tionghoa. Oleh karena itu, apabila orang bodoh ingin menyampaikan apa yang dipikirkan, ia akhirnya tidak dapat mengungkapkan isi hatinya."
Maharaja Sejong (1397-1450) menciptakan Hunminjeongeum pada tahun 1446, yang terdiri dari total 28 huruf, pada tahun ke-28 kepemerintahannya. Hunminjeongeum bermakna, "Suara yang tepat untuk mengajar rakyat." Hunminjeongeum inilah yang nantinya disebut sebagai hangeul.
Setelah penciptaan alfabet tersebut, Maharaja Sejong menyuruh anaknya bernama Pangeran Agung Suyang untuk membuat buku terkait agama Buddha yang berjudul Seokbosangjeol dengan hunminjeongeum. Inilah salah satu buku pertama yang menggunakan alfabet hangeul.
Maharaja Sejong juga mendorong para cendekiawan untuk menerjemahkan karya klasik Konfusianisme, buku sastra, dan kitab suci Buddha yang ditulis dalam karakter Tionghoa ke dalam hangeul. Selain itu, Maharaja Sejong berupaya keras menyebarkan alfabet Korea dengan menetapkan hangeul sebagai salah satu mata pelajaran dalam ujian pelayanan sipil tertentu.
Selain memperkenalkan sejarah penciptaan hangeul, Museum Hangeul Gimhae juga memperkenalkan dua orang ahli bahasa Korea yang mendedikasikan hidupnya untuk pelestarian bahasa Korea, yaitu Lee Yun-jae dan Heo Ung.
Staf museum menjelaskan tokoh Lee Yun-jae, seorang ahli bahasa Korea ternama dari Gimhae.
Lee Yun-jae (1888-1943) yang lahir di Gimhae, merupakan seorang ahli bahasa Korea ternama dan pejuang kemerdekaan pada masa penjajahan Jepang. Lee Yun-jae mewarisi gagasan Ju Sigyeong, seorang ahli bahasa senior Korea. Ia juga turut serta dalam Perhimpunan Studi Bahasa Korea serta Perhimpunan Bahasa Korea bersama Choi Hyeonbae, Lee Geukro, Shin Myeonggyun, Lee Huiseung, dan Jang Jiyoung.
Pada masa itu, Perhimpunan Bahasa Korea tidak mengikuti kebijakan asimilasi bahasa yang diberlakukan oleh pemerintahan Jepang. Mereka menolak penggunaan bahasa Jepang dan terus menyebarkan serta melestarikan penggunaan bahasa Korea. Hal itu menyebabkan anggota perhimpunan tersebut mendapatkan penindasan yang terus menerus dari pemerintah kolonial Jepang.
Lee Yun-jae memainkan peran penting dalam Perhimpunan Bahasa Korea. Ia beberapa kali ditangkap karena usahanya dalam gerakan penggunaan bahasa Korea. Ia bahkan berpartisipasi dalam pembuatan kamus bahasa Korea untuk terus melestarikan bahasa Korea. Saat Perhimpunan Bahasa Korea dianggap sebagai organisasi anti pemerintah kolonial Jepang, anggota-anggotanya ditangkap dan mengalami penyiksaan berat selama interogasi. Lee wafat pada tanggal 8 Desember 1943 di Penjara Hamheung akibat penyiksaan berat.
Heo Ung adalah seorang ahli bahasa Korea yang sangat mencintai hangeul dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk negaranya.
Menelusuri area dalam museum berikutnya, pengunjung dijelaskan tentang tokoh Heo Ung (1918-2004), yaitu seorang ahli bahasa Korea dari Gimhae yang mendedikasikan hidupnya untuk hangeul dan bangsa. Pada tahun 1938, Heo Ung masuk ke Yeonhee College, tempat Choi Hyeonbae mengajar, untuk mempelajari dan mendalami hangeul.
Choi merupakan anggota Perhimpunan Bahasa Korea yang berjuang untuk melestarikan bahasa Korea selama masa pemerintahan kolonial Jepang. Saat berkuliah, ia membaca buku karya Choi berjudul Uri Malbon dan mengetahui perjuangan rekan-rekannya melalui perkumpulan buku.
Ketika Choi diberhentikan dari jabatannya sebagai dosen akibat tekanan Jepang dan ditangkap polisi pada tahun 1939, Heo memutuskan untuk belajar mandiri dan keluar dari kampus pada tahun 1940. Sejak saat itu, ia mengajar dirinya sendiri, mempelajari teori linguistik dunia, serta mendalami bahasa Korea abad ke-15.
Foto di atas menunjukkan Kamus Besar Bahasa Korea yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1957. Kamus tersebut pertama kali mulai dibuat pada tahun 1929 dan baru selesai dikerjakan pada tahun 1957.
Setelah pembebasan Korea pada tahun 1945, Heo mendirikan sekolah bahasa Korea di Gimhae untuk mengajarkan bahasa dan tulisan Korea. Ia juga bergabung kembali dengan Perhimpunan Bahasa Korea yang dibangun kembali setelah kemerdekaan, membantu Choi Hyeonbae, serta berpartisipasi dalam pengajaran hangeul dan penyusunan kamus bahasa Korea.
Museum Hangeul Gimhae memiliki Kamus Besar Bahasa Korea edisi awal dalam versi digital yang sangat besar. Pengunjung dapat menggeser layar untuk melihat isi kamus.
Pada September 1947, Heo Ung menjadi dosen bahasa dan sastra Korea di Universitas Nasional Pusan serta mengajar pula di Universitas Sungkyungkwan, Universitas Yonsei, dan Universitas Nasional Seoul.
Setelah Choi wafat pada tahun 1970, Heo mengambil alih jabatan sebagai ketua Perhimpunan Bahasa Korea. Selama 34 tahun berikutnya, ia memimpin perhimpunan tersebut dengan gigih, mempromosikan penggunaan bahasa Korea, dan memimpin kampanye menentang penghapusan Hari Hangeul sebagai hari libur nasional. Pada tanggal 26 Januari 2004, Heo wafat dan dimakamkan di Taman Pemakaman Moran di Namyangju.
margareth@korea.kr
*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.