Penulis: Wartawan Kehormatan Hurum Maqshuro dari Indonesia
Foto: Hurum Maqshuro
Universitas Nasional Pusan memiliki museum yang didirikan pada tahun 1956 dan berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi harta karun nasional yang terancam selama Perang Korea hingga tahun 1961. Museum ini resmi dibuka pada tahun 1964 setelah benda-benda warisan budaya ini dikembalikan ke Museum Nasional Korea.
Beberapa koleksi Museum Universitas Nasional Pusan antara lain adalah lukisan Buddha (kiri atas), papan lipat bordir dengan motif rak buku (kiri bawah), dan patung Buddha Amitabha Duduk yang terbuat dari kayu (kanan).
Selama 60 tahun terakhir, museum ini telah mengumpulkan serta meneliti benda-benda warisan budaya. Artefak-artefak peninggalan zaman kuno antara lain adalah chaekgeori byeongpung (penyekat bergambar) dan chilseongdo (lukisan Buddha). Barang-barang sejarah tersebut pun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Berwujud Kota Busan.
Sebagai seorang pelajar asing yang sedang menempuh program bahasa Korea, mengenal budaya dan sejarah Korea juga merupakan bagian dari pembelajaran secara mandiri. Kegiatan seperti mengunjungi museum yang ada di kampus menjadi salah satu cara memperkaya pemahaman penulis terkait budaya dan sejarah Korea.
Foto di atas menunjukkan epitaf untuk istri Ma Heungmok dari keluarga Shin Banjin pada tahun 1467.
Memasuki ruang pameran, terdapat Epitaf Nyonya Jin, istri dari Ma Heung Mok. Epitaf ini merupakan salah satu artefak berharga dari masa awal Dinasti Joseon pada tahun 1467. Epitaf ini mencerminkan keindahan keramik khas Korea, yaitu buncheong sagi.
Epitaf Nyonya Jin berisi tentang asal usul keluarga dan tempat tinggal suami pemilik makam, tempat asal pemilik makam, orang tua, tahun lahir dan meninggal, tahun dan tempat pemakaman pemilik makam, tanggal pembuatan, serta peringatan yang berisi, "Jika calon tukang makam melihat batu ini dan berani menggali makam, malapetaka akan menimpa keturunan Anda".
Papan cetak (pelat) buku Hunmongjahoe yang terbuat dari kayu sebagai buku pengantar aksara Tionghoa (hanja).
Selain itu terdapat pelat buku Hunmongjahoe yang berasal dari Dinasti Joseon abad ke 16-18 yang digunakan untuk pendidikan literasi hangeul. Hunmongjahoe merupakan buku pengantar pembelajaran aksara Tionghoa (hanja). Di bawah setiap karakter hanja dicantumkan aksara hangeul yang memungkinkan penggunanya untuk melacak perubahan fonologi dan kosakata dalam bahasa Korea.
Disusun oleh Choi Sejin pada tahun 1527, pelat buku Hunmongjahoe terdiri dari satu set yang berisi 52 buku. Hunmongjahoe ini memiliki nilai yang sangat tinggi karena merupakan satu-satunya pelat buku kayu yang diketahui masih ada hingga saat ini.
Peta peninggalan sejarah yang terdiri dari Peta Gyonam (kiri atas), Peta Yeojido (kiri bawah), Peta Kerajaan Joseon (kanan atas), dan Peta Gamyeojeondo (kanan bawah).
Menelusuri ruang pameran, penulis melihat peta-peta kuno yang menggambarkan wilayah geografis Korea. Di antaranya terdapat Peta Gyonam yang menggambarkan Provinsi Gyeongsang, Peta Yeojido yang menggambarkan kabupaten dan lokasi strategis militer di Provinsi Hamgyeong, Peta Gamyeojeondo, dan Peta Kerajaan Joseon.
Peta Kerajaan Joseon ini dibuat pada tahun 1737 oleh ahli geografi Prancis bernama D'Anville. Peta ini merupakan peta tertua yang dibuat oleh orang barat. Di dalam peta ini, Usando (Dokdo) dan Ulleungdo secara jelas ditandai sebagai wilayah Joseon.
Bangryeong simui milik Noh Sang-ik yang berasal dari periode paruh pertama abad ke-20. Pakaian yang dipamerkan di museum ini merupakan pakaian sebenarnya yang dikenakan oleh Dae-neul Noh Sang-ik.
Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah bangryeong simui milik Noh Sang-ik. Dae-neul Noh Sang-ik (1849-1941) adalah seorang sarjana Konfusianisme sekaligus pejuang kemerdekaan Korea.
Simui merupakan pakaian luar yang biasa dikenakan oleh para sarjana Konfusianisme sebagai pakaian sehari-hari. Simui yang memiliki kerah berbentuk persegi disebut bangryeong simui. Pakaian ini merupakan satu-satunya peninggalan yang ada hingga kini, yang mewarisi standar desain yang ditetapkan oleh Heo Jeon (1797-1886).
Bojagi (kain pembungkus tradisional) bermotif foniks dari periode abad ke 19-20 ini khusus dibuat untuk digunakan pada acara-acara besar, seperti pernikahan dan upacara oleh keluarga kerajaan Dinasti Joseon.
Bonghwangmun inmunbo adalah sejenis bojagi, yaitu kain pembungkus tradisional Korea, dengan motif burung foniks jantan dan betina di bagian tengah yang melambangkan pasangan suami-istri. Di sekelilingnya terdapat desain bunga peoni yang melambangkan kekayaan dan kehormatan, jeruk keprok yang melambangkan keberuntungan, serta buah delima yang melambangkan kesuburan.
Bonghwangmun inmunbo ini berasal dari era Dinasti Joseon pada abad ke 19-20 serta digunakan pada acara-acara penting kerajaan, seperti pernikahan.
Pagoda batu lima tingkat yang berada di halaman luar museum merupakan pagoda dari Kuil Daegok-ri yang direkonstruksi di Museum Universitas Nasional Pusan pada tahun 1906.
Usai melihat-lihat benda-benda bersejarah di dalam museum, penulis melihat adanya Pagoda Batu Lima Tingkat di area halaman museum. Pagoda ini diperkirakan berasal dari periode Goryeo (918-1392) yang awalnya ditemukan dalam kondisi runtuh di Situs Kuil Daegok-ri di Ulju-gun, Ulsan, tetapi direkonstruksi pada tahun 1906 di Museum Universitas Nasional Pusan.
Pagoda merupakan monumen simbolis yang digunakan untuk menyimpan relik atau peninggalan Buddha. Pagoda ini memiliki tinggi 3,2 meter. Pada setiap sisi tubuh batu di tiap tingkat, terdapat pahatan relief berupa gambar Empat Raja Pelindung yang dipercayai melindungi Buddha dan ajarannya.
margareth@korea.kr
*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.