Penulis: Wartawan Kehormatan Annisa Pratamasari dari Indonesia
Foto: Annisa Pratamasari
Pada 25 April lalu, penulis mendapatkan kesempatan untuk kembali mengunjungi Taman Imjingak di Paju, yang juga dikenal sebagai salah satu tujuan wisata DMZ (demilitarized zone). DMZ merupakan perbatasan hasil gencatan senjata antara Republik Korea dan Republik Rakyat Demokratik Korea pada Perang Korea tahun 1950-1953. Hingga saat ini, garis batas sepanjang 240 kilometer ini dijaga ketat oleh tentara PBB, Republik Korea, dan Republik Rakyat Demokratik Korea. Namun, ada beberapa area di DMZ yang dijadikan destinasi pariwisata di Republik Korea, salah satunya adalah Taman Imjingak.
Imjingak terletak di kota Paju, salah satu kota di dekat perbatasan kedua negara. Di desa Panmunjeom, Paju, Joint Security Area (JSA) dan desa reunifikasi juga dibangun. Untuk destinasi wisata DMZ, Paju menawarkan beberapa tempat menarik, seperti JSA/Panmunjeom, Taman Imjingak, Observatori dan Stasiun Dorasan, Third Tunnel, serta Observatori Odusan. Di antara destinasi lainnya, Taman Imjingak merupakan destinasi DMZ Paju yang paling mudah dijangkau oleh transportasi publik dari kota Seoul.
Daya Tarik Taman Imjingak
Terletak sekitar 7 kilometer dari DMZ yang sesungguhnya, Taman Imjingak menawarkan banyak hiburan untuk turis. Jika pengunjung datang dengan keluarga, taman ini memiliki taman hiburan untuk anak-anak. Ada pula Taman Pyeonghwa Nuri di mana pengunjung bisa bermain dan berpiknik. Tempat wisata populer ini dibangun di area Desa Imjingak yang luluh lantak akibat perang dan diresmikan pada tahun 1972 oleh pemerintah Republik Korea untuk mengenang keluarga yang terpisah. Ada sebuah monumen dan pagoda yang digunakan oleh para keluarga untuk mengenang dan menghormati leluhur mereka di Republik Rakyat Demokratik Korea.
Di taman ini pula, kita bisa belajar mengenai sejarah dan relik Perang Korea. Imjingak memiliki Jembatan Kebebasan (Freedom Bridge), bekas rel kereta terputus di Imjingang, dek observatori, gondola perdamaian, dan Beat 131. Jembatan Kebebasan merupakan salah satu daya tarik utama di taman ini. Terbuat dari kayu, jembatan digunakan oleh sekitar 12.000 tahanan perang dari Republik Rakyat Demokratik Korea yang menyeberang ke bagian selatan selama perang dan menjadi simbol harapan tercapainya reunifikasi kedua negara. Sayangnya, pada saat pengunjung mengunjungi taman ini April lalu, akses menuju jembatan ini ditutup untuk renovasi jembatan.
Tak jauh dari jembatan, pengunjung bisa melihat lokomotif tua yang dipenuhi lubang peluru. Lokomotif ini merupakan saksi bisu sejarah Perang Korea dan saat ini merupakan relik historis yang dilindungi negara. Dulunya, lokomotif ini digunakan untuk mengangkut pasukan dan logistik perang di jalur Gyeongui yang menghubungkan Seoul di Selatan dengan Sinuiju di Utara. Namun, ia menjadi target serangan pasukan Republik Rakyat Demokratik Korea yang ingin memutus jalur logistik dan transportasi. Akibatnya, lokomotif ini rusak berat akibat berondongan peluru dan saat ini diabadikan sebagai bukti kekejaman perang.
Di sebelah lokomotif, terdapat pagar besi dengan pita warna-warni yang berisik doa dan harapan untuk perdamaian dan reunifikasi. Pita-pita ini dituliskan oleh para pengunjung dan digantungkan di pagar besi. Melihat pita-pita ini, banyak pengunjung yang merasa terharu dan sedih karena mengingat bahwa Perang Korea masih belum usai dan memisahkan banyak keluarga selama tujuh dekade.
Sementara itu, untuk memasuki Beat 131 dan melihat rel kereta yang terputus dari dekat, pengunjung harus membayar tiket sebesar KRW 1.000-3.000. Beat 131 berisi memorabilia Perang Korea, seperti perlengkapan tentara. Sementara itu, sebelum mencapai rel kereta yang terputus, pengunjung disuguhi replika gerbong kereta, yang melambangkan harapan tersambungnya lagi rel kereta tersebut saat kedua Korea reunifikasi.
Setelah puas menjelajahi taman, pengunjung bisa naik ke observatori dan membayar KRW 500 untuk melihat ke arah Korea Utara melalui binokular. Sayangnya, menurut penulis, binokular di Imjingak tidak dapat melihat wilayah utara dengan jelas karena jaraknya masih cukup jauh. Observatori di Odusan dapat melihat paling jelas, sedangkan observatori di Dorasan hanya dapat melihat jelas jika cuaca sedang bagus.
Gondola Perdamaian
Gondola Perdamaian merupakan 'wahana' terbaru di wilayah Taman Imjingak. Gondola ini baru dibangun pasca Pertemuan Tingkat Tinggi antara mantan Presiden Republik Korea, Moon Jae-In, dan Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Jong-Un, pada bulan April 2018. Pasca pertemuan tersebut, harapan untuk perdamaian kembali menguat dan gondola ini mulai dibangun di area Imjingak. Gondola ini melintasi suatu area yang disebut 'civilian restricted zone' (wilayah terlarang bagi warga sipil).
Penulis sempat mencoba Gondola Perdamaian ini pada tahun 2021, setahun setelah gondola ini diresmikan. Harga tiket pada saat itu KRW 10.000 untuk satu orang dan saat ini harga sudah naik menjadi KRW 11.000. Untuk menaiki gondola ini, pengunjung harus mengisi formulir data diri dan menunjukkan paspor atau kartu identitas penduduk asing (residence card) pada petugas loket. Gondola ini akan membawa kita ke seberang Sungai Imjin, daerah yang dulunya merupakan barak militer tentara Amerika Serikat, Camp Greaves. Berbeda dengan kunjungan perdana penulis, jalan menuju dek observatori telah diperbaiki sehingga lebih nyaman untuk dilalui.
Sesampainya di wilayah 'terlarang' ini, pengunjung dihadapkan pada dua jalur: menuju Camp Greaves dan menuju dek observatori. Saat pertama kali berkunjung, jalur menuju Camp Greaves belum dibuka. Kali ini, pengunjung berkesempatan untuk melihat salah satu bangunan kamp yang dijadikan galeri pameran. Kebetulan, saat penulis berkunjung, sedang ada pameran bertajuk "Portrait of the Days of Youth, Our Days of Youth." Pameran ini mengisahkan tentang para pahlawan Perang Korea yang gugur di medan perang dalam usia muda. Penulis cukup terenyuh dan sedih saat membaca kisah mereka di pamerah ini karena kebanyakan dari mereka gugur di usia yang sangat muda. Bahkan ada pula kisah mengenai pasukan siswa sekolah yang gugur di medan perang saat mereka masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Setelah berkunjung ke pameran tersebut, penulis berjalan naik dan turun bukit yang cukup terjal untuk mencapai observatori dek. Seluruh jalur di wilayah ini dipagari oleh kawat besi, dan ada tulisan "ranjau" di sepanjang jalan. Apakah benar ada ranjau? Mungkin saja, karena DMZ ditengarai merupakan 'rumah' dari satu juta ranjau akibat perang dan kebanyakan dari ranjau ini belum dijinakkan (Sumber: Hankyoreh).
Di observatori dek ini, pengunjung dapat melihat rel kereta yang terputus di Sungai Imjin. Ada pula mercusuar perdamaian, replika jembatan Dobo dan Paviliun Pyeonghwajeong (aslinya ada di Panmunjeom, JSA), serta 'No Border Crossing Sign.' Paviliun Pyeonghwajeong sendiri adalah tempat di mana mantan Presiden Moon Jae-In dan Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Jong-Un bertemu pada tahun 2018. Sedangkan papan 'No Border Crossing' memberi tanda pada pesawat mengenai titik koordinat yang tidak dapat mereka lewati.
Selama berada di sana, penulis merasa bahwa harga yang dibayar dalam sebuah perang dan damai sangatlah besar, baik harga secara ekonomi maupun harga 'manusia.' Ada banyak keluarga terpisah, dan ada pula keluarga yang kehilangan sanak saudara dalam pertempuran. Berbagai usaha perdamaian telah dilakukan selama 70 tahun terakhir ini, dan harapan perdamaian ini sangat jelas terasa selama kunjungan di DMZ. Sayangnya, hingga saat ini, perdamaian belum tercapai dan jalan menuju ke sana masih sangatlah panjang.
sofiakim218@korea.kr
*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.