Penulis: Wartawan Kehormatan Fitri Amalia dari Indonesia
Foto: Fitri Amalia
Pada Kamis (05/01), Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) mengadakan Kelas Teori Musik Tradisional Korea yang bertujuan untuk mengenalkan musik tradisional Korea secara lebih dekat. Hadir sebagai pengisi materi adalah Chung Ji Tae, staf administrasi KCC Indonesia sekaligus ahli gugak (musik tradisional Korea) dan gamelan. Kelas khusus satu hari ini dihadiri puluhan peserta dengan berbagai latar belakang, mulai dari penggemar Korea, pelaku budaya tradisional Korea hingga dosen Etnomusikologi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Kelas Teori Musik Tradisional Korea ini dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama adalah sesi pemaparan materi selama satu jam, dilanjutkan dengan sesi pemutaran video dan sesi tanya jawab.
Teori Musik Tradisional Korea
Chung Ji Tae memulai kelas dengan menjelaskan arti gugak terlebih dahulu. Dalam definisi modern, gugak berasal dari kata guk, yang berarti negara, dan ak, yang berarti musik. Namun dalam definisi lama berdasarkan kitab musik Akhakgwebeom, ak diartikan sebagai langit dan melekat pada diri manusia.
"Musik yang riang menandakan kondisi sedang berbahagia, sementara musik yang sedih, menandakan sedang ada masalah di negara tersebut," papar Chung Ji Tae. Konsep inilah yang menandakan bahwa ak berkaitan dengan kondisi politik negara.
Lebih lanjut, Chung Ji Tae menjelaskan bahwa gugak terbagi menjadi empat kelompok, yaitu musik keraton, musik pungryu (aristokrat), musik rakyat, dan musik ritual. Salah satu jenis musik keraton adalah jenis musik aak (musik upacara Konfusianisme). Jenis musik ini masih dapat dinikmati saat Jongmyo Jerye (Upacara Jongmyo).
Jongmyo Jerye diawali dengan memukul chuk (kotak berwarna hijau, simbol daerah timur) dan diakhiri dengan membunyikan eo (miniatur macan berwarna putih terbuat dari kayu, simbol daerah barat). Hal ini dianggap merepresentasikan alam, seperti matahari yang terbit di timur dan terbenam di barat.
Perbandingan dengan Musik Barat dan Musik Tradisional Indonesia
Agar para peserta lebih memahami konteks yang sedang dibahas, Chung Ji Tae pun membandingkannya dengan budaya tradisional Indonesia dan budaya barat. Pada tangga nada musik barat, ada tujuh tangga nada yang digunakan (do-re-mi-fa-sol-la-si), sementara tangga nada tradisional Korea menggunakan tangga nada pentatonik atau lima nada (dari total 12 tangga nada tradisional Korea). Tangga nada pentatonik ini juga banyak digunakan di gamelan Sunda dan Jawa.
Selain itu, tidak seperti alat musik tradisional Indonesia yang banyak dipahat di candi, seperti Relief Karmawibangga di Candi Borobudur, Chung Ji Tae menjelaskan bahwa alat musik tradisional Korea banyak dipahat pada benda fungsional sehari-hari. Hal itu ditunjukkan melalui pahatan pada kendi zaman kerajaan Silla dan pahatan pada tempat dupa zaman kerajaan Baekje.
Lebih lanjut, alat musik tradisional Korea ini dapat dimainkan oleh siapa pun, baik pria maupun wanita. Sementara, gamelan umumnya hanya dimainkan oleh pria, sedangkan wanita sebagai sinden.
Pemutaran Video Musik Tradisional Korea
Agar para peserta lebih memahami pemahaman materi yang telah dijelaskan di awal, Chung Ji Tae memutar beragam video permainan musik tradisional Korea. Video diawali dengan pemutaran musik aak, jeongak, pansori, sinawi (improvisasi musik), samulnori hingga perpaduan dengan musik kontemporer, seperti musik rok, jaz, pop hingga hip hop.
Meskipun beragam variasinya, satu kesamaan mendasar dalam musik tradisional Korea adalah adanya jangdan, yaitu tekanan irama dengan pola tetap dan menentukan sifat dan perasaan yang dimiliki sebuah musik. Para peserta pun sempat diajak memainkan salah satu jenis jangdan, yaitu jungjungmorijangdan.
Kelas Teori Musik Tradisional Korea ini menarik antusiasme para peserta. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan dan opini yang diajukan beberapa peserta. Sebagai penutup acara, diadakan sesi foto bersama dan pembagian suvenir tradisional kepada seluruh peserta.