Wartawan Kehormatan

2025.07.16

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Hurum Maqshuro dari Indonesia
Foto: Siska Tawari

UNESCO APCAD adalah singkatan dari Asia-Pacific Cities Against Discrimination, yaitu sebuah program yang digagas oleh UNESCO untuk mendorong kota-kota di kawasan Asia Pasifik berkomitmen pada nilai-nilai inklusi, toleransi, dan hak asasi manusia.

Fokus utama UNESCO APCAD adalah membangun masyarakat yang adil dan setara, bebas dari diskriminasi, melalui pendekatan pendidikan, kebijakan publik, hingga teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI).

Penulis berkesempatan mewawancarai salah satu peserta asal Indonesia dalam program UNESCO APCAD Youth Camp 2025 yang diselenggarakan di Kota Gwangju, Korea. Dalam wawancara ini, Siska membagikan cerita dan pengalamannya selama mengikuti program tersebut.

Foto bersama dengan seluruh peserta program UNESCO APCAD 2025.

Foto bersama dengan seluruh peserta program UNESCO APCAD 2025.


Silakan perkenalkan diri Anda.

Nama saya Siska Tawari yang berusia 25 tahun. Saya tinggal di Jakarta dan baru saja menyelesaikan studi di jurusan Pendidikan Teknik Elektronika di salah satu universitas negeri di Jakarta. Saat ini saya aktif mengajar sebagai guru sekaligus sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi program magister.

Tolong perkenalkan mengenai program UNESCO APCAD yang Anda ikuti di Gwangju.

Saya mengikuti UNESCO APCAD Youth Camp 2025 yang diselenggarakan pada tanggal 3–8 Juli 2025 di Kota Gwangju. Kegiatan ini berlangsung di beberapa lokasi penting seperti Asia Culture Center, Jeon-il 245, dan Gwangju International Center.

Selama enam hari, peserta belajar bersama seputar topik AI (kecerdasan buatan) dan inklusi sosial. Programnya mencakup kuliah umum dari para ahli internasional, diskusi kelompok, lokakarya interaktif, serta kunjungan lapangan ke situs-situs sejarah dan budaya di Gwangju.

Melalui program UNESCO APCAD, Siska mendapatkan banyak materi pembahasan yang menarik.

Melalui program UNESCO APCAD, Siska mendapatkan banyak materi pembahasan yang menarik.


Apa momen yang paling berkesan bagi Anda?

Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah saat belajar tentang Gerakan Demokrasi 18 Mei. Kami tidak hanya menerima materi di kelas, tetapi juga diajak langsung mengunjungi lokasi bersejarah terkait peristiwa tersebut. Penjelasan selama kunjungan membuka wawasan saya tentang perjuangan demokrasi di Korea.

Selain itu kami juga mengikuti kelas AI langsung di Universitas Nasional Chonnam dan mendapatkan sesi tambahan dari GIST (Gwangju Institute of Science and Technology). Selain itu, kami juga mendapatkan materi yang menarik dari UNESCO Paris dan UNESCO Jakarta terkait AI, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.

Di luar kelas, kami juga mendapatkan kegiatan budaya seperti membuat kipas kaligrafi Korea, mengenakan hanbok, mengunjungi kuil Konfusianisme, mencicipi teh, hingga praktik pernikahan tradisional Korea. Kegiatan mengenal lebih dekat budaya Korea seperti ini memiliki kesan tersendiri bagi saya.

Apa yang Anda dapatkan melalui program UNESCO APCAD?

Saya tidak hanya belajar tentang teknologi AI secara teknis, tetapi juga dampaknya terhadap keadilan sosial dan inklusi. Saya jadi makin paham bahwa AI bukan sekadar alat, tapi juga mencerminkan nilai-nilai yang kita tanamkan dalam penggunaannya.

Kami berdiskusi soal bias algoritma, efek echo chamber, hingga bagaimana AI bisa memengaruhi pendidikan, kesehatan mental, dan kehidupan sosial. Saya juga baru menyadari bahwa penggunaan AI bisa berdampak besar pada lingkungan. Melatih satu model AI besar, misalnya, bisa menghasilkan emisi karbon setara 300 kali penerbangan New York, San Francisco.

Peserta dibagi ke dalam beberapa grup untuk berdiskusi membagikan ide-ide menarik terkait nilai-nilai inklusi, toleransi, dan hak asasi manusia.

Peserta dibagi ke dalam beberapa grup untuk berdiskusi membagikan ide-ide menarik terkait nilai-nilai inklusi, toleransi, dan hak asasi manusia.


Apakah Anda berpartisipasi dalam menyumbangkan ide tertentu?

Dalam kelompok saya, kami membuat presentasi berjudul “The Bias of AI in Social Life” dan mengusulkan solusi berupa AI-Lit & Wellbeing Corners, yaitu ruang edukatif dan reflektif yang bisa dibangun di sekolah atau youth center. Tujuannya untuk memberikan literasi AI yang mudah dipahami, mendukung keseimbangan digital, dan menyediakan ruang aman untuk koneksi dengan dunia nyata.

Saya juga sangat terinspirasi dari cerita dan semangat teman-teman peserta dari berbagai negara serta cara mereka menghadapi diskriminasi dan aktif membangun komunitas mereka.

Bagaimana Anda bisa mengikuti program ini?

Saya mengetahui informasi program ini dari jaringan Youth Diplomacy yang saya ikuti. Topiknya langsung menarik perhatian saya karena sangat relevan dengan latar belakang pendidikan dan minat saya.

Proses pendaftarannya terbuka untuk umum yang berusia 18–30 tahun dari kota anggota UNESCO APCAD. Seleksi dilakukan melalui formulir aplikasi, esai, dan wawancara daring. Setelah melalui proses tersebut, saya bersyukur bisa terpilih menjadi salah satu dari sekitar 20 orang peserta yang berkesempatan mengikuti program secara langsung di Gwangju.

Setiap peserta mendapatkan sertifikasi pasrtisipasi mengikuti program UNESCO APCAD.

Setiap peserta mendapatkan sertifikasi pasrtisipasi mengikuti program UNESCO APCAD.


Bagaimana kesan Anda mengikuti program ini?

Sungguh pengalaman yang luar biasa dan penuh makna. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Gwangju. Di tahun sebelumnya saya pernah ke sana sebagai penerima undangan dari program Gwangju Public Diplomacy Team. Namun, kali ini pengalaman saya jauh lebih dalam dan membekas.

Saya merasa sangat dihargai sebagai anak muda karena bisa berdialog langsung dengan para pakar, dosen, dan perwakilan UNESCO dari berbagai negara. Mereka sangat terbuka, sabar, dan mendukung, bahkan untuk pertanyaan sederhana yang kami ajukan.

Yang juga membuat pengalaman ini berkesan adalah kehangatan antarpeserta. Walaupun kami berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, semuanya rendah hati dan saling menghargai. Kami bisa berdiskusi serius sekaligus tertawa dan bermain bersama.

Program ini membuat saya semakin semangat untuk belajar dan berkontribusi di ranah global. Saya berharap suatu hari nanti bisa kembali ke Korea, baik untuk studi, kerja sama budaya, atau berkarya dalam bidang edukasi dan teknologi inklusif.


margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait