Wartawan Kehormatan

2025.06.20

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Hurum Maqshuro dari Indonesia
Foto: Hurum Maqshuro

Hari Pengungsi Sedunia adalah hari internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghormati pengungsi di seluruh dunia. Hari tersebut jatuh setiap tanggal 20 Juni serta menyoroti hak, kebutuhan, dan impian bagi mereka-mereka yang terpaksa untuk mengungsi.

Untuk memperingati Hari Pengungsi Sedunia, pada tanggal 18 Juni 2025 penulis mengunjungi beberapa tempat terkait pengungsian selama Perang Korea (1950-1953) di Bumin-dong dan Ami-dong, Busan.

Pemukiman warga yang dulunya menjadi tempat pengungsian Perang Korea di area Ami-dong, Busan.

Pemukiman warga yang dulunya menjadi tempat pengungsian Perang Korea di area Ami-dong, Busan.


Kota Busan merupakan kota terbesar kedua di Korea setelah Seoul. Banyaknya desa-desa di lereng bukit hingga pemandangan pelabuhan yang menarik sehingga Busan menjadi salah satu tujuan wisata populer di Korea. Namun, keindahan pemandangan susunan rumah-rumah di lereng bukit tersebut ternyata memiliki cerita kelam.

Pada tahun 1950 ketika Perang Korea meletus, ribuan pengungsi dari seluruh penjuru negeri berbondong-bondong datang ke Busan untuk berlindung. Pada puncak Perang Korea tahun 1950, jumlah penduduk Busan hampir mencapai 840.000 jiwa.

Kota Busan sebelumnya dirancang hanya untuk sekitar 300.000 jiwa yang merupakan jumlah penduduk selama Masa Penjajahan Jepang (1910-1945). Saat Perang Korea terjadi, Busan tidak siap menampung ratusan ribu pengungsi.

Pemandangan rumah-rumah di lereng bukit yang terlihat dari lantai 3 Pusat Pembelajaran Ami, Ami-dong, Busan.

Pemandangan rumah-rumah di lereng bukit yang terlihat dari lantai 3 Pusat Pembelajaran Ami, Ami-dong, Busan.


Pengungsi menghadapi kekurangan tempat tinggal yang parah. Tempat-tempat seperti gedung-gedung teater, pabrik, penginapan, hingga rumah-rumah pribadi masyarakat sudah penuh dipakai untuk menampung para pengungsi. Akhirnya, banyak pengungsi yang terpaksa membangun gubuk-gubuk di lereng bukit dengan bahan-bahan sederhana dari papan dan tikar jerami.

Area yang dikunjungi penulis untuk menelusuri jejak pengungsian di kota Busan adalah Ami-dong dan Bumin-dong. Di Ami-dong, terdapat Galeri Choi Minsik yang berlokasi di lantai dua Pusat Pembelajaran Budaya Ami. Galeri ini menampilkan foto-foto dokumenter yang menggambarkan potret kehidupan para pengungsi Perang Korea di Busan sehingga memungkinkan pengunjung merasakan dan memahami keadaan pada masa itu.

Mural Memotret Kemiskinan dari Choi Minsik yang berada di seberang Galeri Choi Minsik.

Mural "Memotret Kemiskinan" dari Choi Minsik yang berada di seberang Galeri Choi Minsik.


Memotret Kemiskinan adalah tema fotografi yang diperlihatkan oleh Choi Minsik di galerinya yang mendesikasikan kemanusiaan. "Api yang tak pernah padam dari orang-orang yang terpingggirkan menghangatkan hati yang dingin," menunjukan semangat dan keteguhan para pengungsi yang dapat menginspirasi dan membangkitkan empati.

Galeri foto Harapan dan Senyum karya Choi Minsik.

Galeri foto "Harapan" dan "Senyum" karya Choi Minsik.


Salah satu foto yang menarik perhatian penulis adalah potret bertema "Harapan" dan "Senyum." Melalui karya ini, Choi Minsik berusaha menampilkan kehangatan kehidupan para pengungsi. Meskipun mereka hidup dalam kesulitan dan penderitaan, senyum tetap menghiasi wajah mereka sehingga menjadi simbol keteguhan dan harapan di tengah situasi yang penuh tantangan.

Suara Napas merupakan kumpulan foto yang mencerminkan cobaan dan penderitaan dari orang-orang biasa yang rendah hati.

"Suara Napas" merupakan kumpulan foto yang mencerminkan cobaan dan penderitaan dari orang-orang biasa yang rendah hati.


Melalui Galeri Choi Minsik, penulis dapat melihat kawasan pengungsian di area Ami-dong. Rumah-rumah di sekitar lereng bukit-bukit yang kini tersusun rapi merupakan bangunan sederhana yang dulunya terpaksa dibangun oleh pengungsi untuk bertahan hidup pada masa Perang Korea.

Penulis melanjutkan perjalanan menuju Bumin-dong untuk mengunjungi Provisional Capital Memorial Hall yang dulunya adalah kediaman presiden sementara saat Perang Korea terjadi. Namun sayangnya, bangunan utama sedang dalam renovasi dan penulis hanya dapat mengunjungi aula pameran yang menampilkan berbagai relik, model replika, panel dan video yang mengajak pengunjung merasakan langsung kehidupan para pengungsi.

Tampak luar Provisional Memorial Hall aula pameran 2 yang masih bisa dikunjungi oleh pengunjung. Aula pameran utama ditutup dengan alasan direnovasi yang diperkirakan selesai pada tahun 2026.

Tampak luar Provisional Memorial Hall aula pameran 2 yang masih bisa dikunjungi oleh pengunjung. Aula pameran utama ditutup dengan alasan direnovasi yang diperkirakan selesai pada tahun 2026.


Busan merupakan ibu kota sementara pada masa Perang Korea. Sebagian besar kementerian pemerintah, Majelis Nasional, serta lembaga-lembaga utama terkait keuangan, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan dialihkan ke Busan. Selain itu Busan juga berperan sebagai ‘ibu kota pengungsi' yang menampung kehidupan para pengungsi yang sulit karena pertambahan populasi yang pesat sehingga terjadi kekurangan sandang dan pangan.

Replika 'rumah barak' yang menggambarkan kehidupan para pengungsi yang amat sulit.

Replika 'rumah barak' yang menggambarkan kehidupan para pengungsi yang amat sulit.


Memasuki aula pameran, terdapat replika 'rumah barak', yaitu rumah yang dibangun dari tanah kosong di lereng bukit yang diratakan dan dibangun sementara dengan menggunakan papan, kardus, dan jerami.

Pada ruang berikutnya terdapat replika sekolah. Karena sebagian besar wilayah Korea diduduki oleh penjajah komunis, sekolah-sekolah banyak yang dikosongkan. Maka dari itu, pusat pendidikan pun dipindahkan ke Busan.

Meskipun banyak kekurangan guru dan bahan ajar, semangat warga terhadap pendidikan tidak pernah padam selama pernah berlangsung. Sekolah-sekolah darurat pun tetap dibuka tanpa mengenal waktu setiap hari.

Replika kedai milmyeon, yaitu mi gandum yang kini menjadi salah satu makanan khas Busan.

Replika kedai milmyeon, yaitu mi gandum yang kini menjadi salah satu makanan khas Busan.


Kkulkkurijuk (bubur babi) dan milmyeon (mi gandum) merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh para pengungsi. Pemerintah ibu kota sementara harus menyediakan makanan dan minuman bagi para pengungsi untuk menjaga stabilitas sosial. Namun, jatah makanan yang diberikan oleh bantuan PBB (Perserikatan bangsa-bangsa) dan Amerika Serikat tidak mencukupi sehingga makanan dibuat menggunakan sisa-sisa bahan makanan yang dibuang oleh pangkalan militer Amerika.

Patung 'keluarga pengungsi' yang berada di jalan Provisional Memorial Hall menuju ke arah Seokdang Museum.

Patung 'keluarga pengungsi' yang berada di jalan Provisional Memorial Hall menuju ke arah Seokdang Museum.


Usai megunjungi aula Provisonal Memorial Hall, penulis menelusuri jalan yang bertema ibu kota pengungsi dan menemukan patung 'keluarga pengungsi'. Patung ini menjadi simbol kehidupan menyakitkan masa lalu di Kota Busan.

Perjalanan ini menjadi refleksi bagi penulis dalam memperingati Hari Pengungsi Sedunia. Melalui kunjungan ke Galeri Choi Minsik dan Provisional Capital Memorial Hall, penulis menyaksikan bagaimana para pengungsi Perang Korea di Busan bertahan dan memiliki harapan di tengah masa-masa sulit mereka.


margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait