Wartawan Kehormatan

2024.12.27

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Monthi Rosselini dari Indonesia

Penulis menghadiri lokakarya seni kontemporer Korea dengan narasumber kurator Jeong Ok Jeon. (Monthi Rosselini)

Penulis menghadiri lokakarya seni kontemporer Korea dengan narasumber kurator Jeong Ok Jeon. (Monthi Rosselini)


KCCI (Korean Cultural Center Indonesia) berkolaborasi dengan Museum Nasional untuk Seni Modern dan Kontemporer Korea bersama Universitas Negeri Jakarta menggelar lokakarya pada Rabu, 18 Desember 2024. Acara yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Republik Korea ini digelar secara luring di Ice Palace, Lotte Shopping Avenue, Jakarta.

Acara ini menghadirkan Jeong Ok Jeon sebagai pembicara. Ia adalah seorang kurator asal Korea yang aktif mengajar dan meneliti seni yang berfokus pada media baru, seni, dan ilmu pengetahuan. Saat ini ia menjabat sebagai direktur di ARCOLABS dan dosen tetap di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Lokakarya ini mencakup sesi presentasi tayangan dokumenter dua pameran seni di Korea, sesi presentasi Jeon berbagi pandangannya tentang dua pameran seni tersebut, serta perkembangan seni kontemporer baik di Korea maupun di Indonesia. Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang disampaikan dalam bahasa Korea dan Indonesia.

241227_Art_2

Lokakarya dihadiri oleh dosen seni, mahasiswa, praktisi seni, dan pegiat budaya Korea. (Monthi Rosselini)


Dalam lokakarya bertajuk Workshop on Korean Contemporary Art ini, Jeong Ok Jeon menyoroti dua pameran seni berbasis sains dan teknologi yang ditayangkan di awal acara, yaitu What Things Dream About dan What an Artificial World.

What Things Dream About merupakan sebuah pameran seni yang mengembangkan konsep objek lewat praktik seni dan desain kontemporer. Pameran yang digelar di Museum Nasional untuk Seni Modern dan Kontemporer Korea disusun dalam tiga subtema.

"World of Objects" sebagai subtema pertama mendekonstruksi objek sebagai material dan mengubahnya menjadi pengertian lain agar kita dapat mengenali bahwa objek tersebut ada di sekitar kita. "Invisible Relations" menegaskan bahwa benda bukanlah sekedar benda yang hanya digunakan oleh manusia, tetapi juga sebagai agen penting yang mempunyai dampak besar terhadap kehidupan manusia. "What Kind of Future" adalah tempat untuk memimpikan hal-hal yang mustahil melalui objek-objek yang melampaui kategori, waktu, dan ruang yang ada.

What an Artificial World adalah sebuah pameran seni media pertama di MMCA Cheongju yang mengkaji kecerdasan buatan (AI) dalam masyarakat dan budaya saat ini serta menjajaki kemungkinan simbiosis di antara keduanya teknologi dan manusia. Pameran ini mengkaji makna teknologi di masa kini dari beragam aspek, termasuk ekologi, penciptaan, evolusi, dan sistem melalui karya seni yang berhubungan dengan AI sebagai subjeknya.

Tayangan pameran What An Artificial World yang diputar dalam lokakarya. (Monthi Rosselini)

Tayangan pameran What An Artificial World yang diputar dalam lokakarya. (Monthi Rosselini)


Jeon memaparkan pandangannya tentang kedua pameran tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ia menemukan kesamaan dalam dua pameran yang berbeda. Menurutnya, keduanya memiliki pendekatan karya yang serupa, dalam hal bahan, teknik pembuatan, dan tema yang mewakili seni kontemporer.

Jeon juga menjelaskan bahwa topik keduanya berkaitan dengan yang paling banyak dibahas, seperti koeksistensi antara manusia dan objek, atau pendekatan yang berfokus pada manusia. Walaupun kedua pameran ini diadakan di Korea, tetapi keduanya memiliki aspek yang sangat global dan universal, sehingga akan ditemukan banyak relavansi dengan situasi dan budaya yang ada.

Jeon juga membahas beberapa karya dari kedua pameran tersebut. Salah satu yang menarik adalah karya yang berjudul "Vortex" dari Lee Jangsub dari pameran What Things Dream About. Karya dari seniman tersebut mengangkat isu masyarakat dan meneliti material baru yang dapat meminimalkan dampak buruk bagi lingkungan.

Jeon menjelaskan bahwa Lee berfokus pada pembuatan bioplastik yang terbuat dari bubuk rumput laut sehingga bahan yang dihasilkan dapat terurai secara hayati, dari alam dan kembali ke alam. Salah satu karya yang dipamerkan adalah jaket yang terbuat bubuk rumput laut yang merupakan bahan ramah lingkungan.

Kurator Jeong Ok Jeon ketika memaparkan pandangannya mengenai karya berbasis AI yang berjudul Aimy The Pregnant (2024). Karya tersebut dibuat oleh seorang seniman Korea yang bernama TZUSOO. (Monthi Rosselini)

Kurator Jeong Ok Jeon ketika memaparkan pandangannya mengenai karya berbasis AI yang berjudul "Aimy The Pregnant" (2024). Karya tersebut dibuat oleh seorang seniman Korea yang bernama TZUSOO. (Monthi Rosselini)


Jeon juga menyampaikan pandangannya mengenai karya berbasis AI yang berjudul "Aimy The Pregnant" (2024). Karya tersebut dibuat oleh seorang seniman Korea yang bernama TZUSOO. Ia merupakan seorang seniman ultra kontemporer asal Korea. Karyanya tersebut meninjau kembali makna teknologi melalui 'kehamilan' manusia.

Jeon menjelaskan bahwa dalam karya ini, seniman bekerja sama dengan teknologi AI melalui software DALL-E2. Dibantu dengan alat penghasil gambar berbasis AI, seniman tersebut menciptakan karater Aimy hanya dengan memberikan idenya dan DALL-E2 yang menciptakan wujud karakternya.

Jeon juga menyampaikan bahwa di Korea sudah cukup banyak seniman yang menggabungkan idenya lewat AI. Bahkan di Indonesia juga sudah ada seniman yang menghasilkan karya berbasis AI. Jeon menceritakan pengalaman menariknya ketika berkunjung ke Festival Seni Cahaya di Jogja. Di sana dipamerkan karya lukisan R. Affandi. Namun, dengan teknologi, AI para seniman dapat menginterpretasikan karya R. Affandi dengan hasil yang berbeda-beda.

Sebelum mengakhiri presentasi, Jeon mengungkapkan harapannya bahwa lewat pameran yang telah dipresentasikan, kita semua dapat bersama-sama berpikir masalah apa yang terlewat di era AI ini dan tantangan apa yang akan kita hadapi di masa depan.

Beberapa peserta memberi pertanyaan menarik kepada Kurator Jeong Ok Jeon dalam sesi tanya jawab. (Monthi Rosselini)

Beberapa peserta memberi pertanyaan menarik kepada Kurator Jeong Ok Jeon dalam sesi tanya jawab. (Monthi Rosselini)


Berlanjut ke sesi tanya jawab, seorang mahasiswa UNJ mengutarakan pertanyaan, "Dengan hadirnya AI di dunia seni, apa kekhawatiran terbesar Anda sebagai kurator?"

Menjawab pertanyaan tersebut Jeon berkata, "Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir. Saya sendiri ingin berkolaborasi dengan AI. Sekitar dua tahun lalu ketika Chat GPT baru popular di Amerika, ada pembahasan bagaimana mengembangkan pameran berbasis AI di museum. Saya sangat positif terhadap AI walaupun banyak yang khawatir akan hadirnya teknologi ini."

"Menurut saya, kita bisa berbagi peran dengan AI. Kita bisa berkolaborasi sehingga tidak perlu khawatir bila kita akan diambil alih atau dikontrol oleh AI. Bisa saja ada kemungkinan yang lebih positif," tambah Jeon.

Lokakarya yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini telah membuka wawasan peserta terhadap seni kontemporer di Korea dan juga perkembangan AI di dunia seni. Acara diakhiri dengan sesi foto bersama dengan narasumber dan peserta lokakarya yang terdiri dari dosen, mahasiswa, praktisi seni dan pegiat budaya Korea.

Foto peserta lokakarya bersama narasumber di akhir acara. (KCCI)

Foto peserta lokakarya bersama narasumber di akhir acara. (KCCI)



margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait