Penulis: Wartawan Kehormatan Hanum Nur Aprilia dari Indonesia
Foto: Hanum Nur Aprilia
Setelah menjelajahi beberapa sudut Seoul yang modern, tetapi kaya akan peninggalan tradisional, penulis tersadar bahwa Korea adalah negara yang sangat menjaga dan menghargai warisan masa lalunya.
Di tengah gedung-gedung pencakar langit dan teknologi canggih, tradisi dan sejarah tetap hidup dan berdampingan harmonis. Berbagai situs sejarah dan kebudayaan yang tersebar di tengah-tengah modernitas ibu kota seolah menjadi pengingat betapa berharganya peninggalan masa lalu bagi masyarakat Korea.
Rasa kagum ini kemudian mendorong penulis untuk melangkah lebih jauh, mendalami sejarah dan budaya negeri ini dengan mengunjungi kota Yeongju yang dikenal akan keterkaitannya yang mendalam dengan warisan budaya dan harmoni alam.
Yeongju terletak di Provinsi Gyeongsangbuk. Kota ini dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan dan pendidikan di Korea. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan hijau dan sungai yang jernih, menciptakan lanskap yang menakjubkan dan ideal untuk memahami bagaimana sejarah dan alam berinteraksi dalam membentuk identitasnya.
Yeongju menyimpan berbagai situs bersejarah yang merupakan saksi perjalanan panjang bangsa Korea, menawarkan pengalaman perjalanan waktu yang meliputi berbagai era penting, dari masa Tiga Kerajaan (57 SM s/d 668 M) hingga masa kini. Setiap era di Yeongju menampilkan keharmonisan antara manusia dan alam yang tercermin dalam berbagai aspek seperti pemilihan lokasi makam, pembangunan akademi, dan upaya konservasi satwa.
Menelusuri Jejak Goguryeo di Goguryeo Mural Tomb
Perhentian pertama di Yeongju adalah Goguryeo Mural Tomb, sebuah situs yang membawa penulis kembali ke era Goguryeo (37 SM s/d 668 M). Goguryeo adalah salah satu dari dari tiga kerajaan di Semenanjung Korea pada masa Tiga Kerajaan. Meskipun kerajaan ini lebih dikenal dengan peninggalannya di wilayah utara Korea, keberadaan makam mural di Yeongju menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan jangkauan Goguryeo pada masa kejayaannya.
Sesampainya di lokasi, penulis disambut oleh suasana tenang dan sakral yang menyelimuti area makam. Yang paling menarik perhatian adalah pemilihan lokasi makam ini yang tidak sembarangan. Masyarakat Goguryeo sangat memperhatikan keharmonisan dengan alam dalam menentukan lokasi makam. Mereka biasanya memilih tempat-tempat yang dilindungi oleh pegunungan di belakang dan menghadap ke sungai di depan, sebuah konsep yang dikenal dengan sebutan baeksan imsu. Lanskap ini dipercaya memberikan perlindungan dan keberuntungan bagi arwah yang bersemayam di dalamnya.
Lukisan-lukisan mural yang menghiasi dinding dalam makam tersebut semakin memperkuat hubungan antara manusia dan alam. Mural-mural ini menggambarkan berbagai aspek kehidupan pada masa Goguryeo, mulai dari adegan pertempuran, upacara keagamaan, hingga kegiatan sehari-hari seperti berburu dan menari.
Warna-warna alami dan goresan yang detail memberikan kesan hidup dan dinamis, seolah-olah menceritakan kisah-kisah masa lalu secara langsung kepada para pengunjung. Teknik lukisan ini juga mencerminkan kecanggihan artistik masyarakat Goguryeo dan ketergantungan mereka terhadap alam untuk inspirasi dan keberanian.
Melalui mural-mural ini, penulis dapat merasakan semangat dan budaya masyarakat Goguryeo yang kuat dan beragam, serta kecintaan mereka terhadap alam yang tercermin dalam setiap adegan yang dilukiskan.
Selain nilai artistiknya, mural-mural ini juga memiliki nilai historis yang tinggi karena memberikan informasi penting tentang struktur sosial, kepercayaan, dan kehidupan masyarakat pada masa tersebut. Penulis merasa seolah-olah sedang membaca buku sejarah yang ditulis dengan gambar-gambar indah yang mampu membangkitkan imajinasi dan pemahaman yang lebih mendalam tentang era Goguryeo.
Menyelami Kehidupan Sarjana Joseon di Sosu Seowon
Perjalanan penulis berlanjut ke era yang lebih modern, tetapi tetap sarat akan nilai-nilai tradisional, yaitu era Dinasti Joseon (1392-1910). Sosu Seowon merupakan institusi pendidikan tradisional Korea yang muncul selama periode Joseon dan merupakan seowon tertua di Korea. Konsep seowon menggabungkan elemen pendidikan dengan studi akademis dan moral, serta berfungsi sebagai pusat pengajaran Konfusianisme.
Sosu Seowon dibangun pada tahun 1543 oleh Ju Se-bung dan mendapatkan piagam kerajaan dari Raja Myeongjong pada tahun 1550, menjadikannya seowon pertama yang diakui secara resmi oleh kerajaan. Pengakuan ini meningkatkan status Sosu Seowon sebagai pusat pendidikan Konfusianisme yang penting. Akademi ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai tempat penyelenggaraan upacara peringatan bagi para cendekiawan Konfusianisme.
Keunikan Sosu Seowon terletak pada kelestariannya yang luar biasa, bahkan setelah banyak seowon lainnya dibubarkan pada akhir periode Joseon. Sebagai salah satu dari sedikit seowon yang bertahan, Sosu Seowon tetap mempertahankan sebagian besar struktur aslinya, termasuk auditorium yang menjadi jantung akademi ini.
Di auditorium ini, terdapat sebuah papan nama bertuliskan "Sosu Seowon" yang diukir oleh Raja Myeongjong. Selain auditorium, terdapat pula bangunan lain seperti Jikbangjae, Ilshinjae, Hakgujae, dan Jirakjae. Di sisi timur, pengunjung dapat menemukan Seogo, yang menyimpan potret Anhyang, seorang tokoh terkemuka dari akhir Dinasti Goryeo, yang diakui sebagai Harta Nasional No. 111.
Sosu Seowon juga menggambarkan bagaimana arsitektur dan lanskap alami berfungsi selaras. Bangunan seowon dirancang untuk berintegrasi dengan lingkungan sekitarnya, memanfaatkan kekayaan alam untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk pembelajaran dan meditasi. Penempatan bangunan yang menghadap ke arah sungai dan gunung menciptakan keseimbangan antara elemen spiritual dan fisik, serta menekankan pentingnya hubungan antara manusia dan alam dalam pendidikan Konfusianisme.
Pada tahun 2019, Sosu Seowon, bersama dengan delapan seowon lainnya, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, sebuah pengakuan akan nilai budaya yang luar biasa dan penghargaan atas perannya dalam penyebaran Neo-Konfusianisme di Korea. Dalam usaha untuk mempertahankan statusnya, Sosu Seowon memperkenalkan program pelatihan Sama-seonbi yang bertujuan untuk melestarikan warisan intelektual yang kaya dari para cendekiawan Korea.
Program ini menawarkan kursus-kursus mendalam tentang studi Konfusianisme, termasuk pembacaan dan diskusi tentang teks-teks klasik dan puisi yang dipimpin oleh para pakar terkemuka. Melalui keterlibatan para peserta yang antusias dalam studi ini, program tersebut memperkuat relevansi berkelanjutan Sosu Seowon sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Menghidupkan Kembali Masa Lalu di Desa Tradisional Seonbichon
Masih dalam nuansa era Joseon, penulis melanjutkan perjalanan ke Seonbichon, sebuah destinasi yang memungkinkan pengunjung merasakan langsung kehidupan sehari-hari masyarakat Korea pada masa lalu. Desa ini dibangun untuk merekonstruksi dan melestarikan budaya dan tradisi yang diwariskan oleh para seonbi, yakni para cendekiawan yang dikenal dengan integritas dan pengetahuan mereka selama era Joseon.
Berlokasi tepat di belakang Sosu Seowon, Seonbichon adalah sebuah desa Korea tradisional yang terpelihara dengan baik dan memberikan pengunjung gambaran tentang kehidupan para sarjana klasik ini. Desa ini menampilkan berbagai bangunan yang menunjukkan arsitektur dan budaya tradisional Korea.
Perpaduan harmonis antara rumah-rumah beratap genteng dengan rumah-rumah beratap jerami menciptakan suasana yang membawa pengunjung kembali ke masa lalu. Setiap elemen arsitektur, dari desain rumah hingga tata letak jalanan, dirancang untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, mencerminkan bagaimana masyarakat Joseon memanfaatkan dan menghormati sumber daya alam mereka.
Selama sekitar satu dekade, Seonbichon menjadi tempat bagi pengunjung domestik hingga mancanegara dalam mendalami budaya tradisional Korea. Desa ini warisan Konfusianisme dilestarikan melalui berbagai seminar dan kelas khusus.
Pengunjung juga dapat mengikuti permainan tradisional di pojok permainan desa, seperti jegichagi (permainan hacky sack versi Korea) dan tuho (permainan lempar anak panah tradisional). Popularitas Seonbichon sebagai lokasi syuting drama dan film sejarah menambah pesona dan daya tariknya, menjadikannya tempat yang hidup dengan sejarah dan budaya.
Upaya Pelestarian Alam di Pusat Pengamatan Ekologi Rubah
Selain menjaga warisan budaya, Korea juga menunjukkan komitmen yang kuat dalam melestarikan warisan alamnya. Salah satu contoh nyata adalah Pusat Pengamatan Ekologi Rubah di Yeongju. Pusat ini yang juga dikenal sebagai Pusat Restorasi Taman Nasional merupakan bagian dari inisiatif untuk memulihkan populasi rubah merah Korea yang hampir punah.
Rubah merah Korea yang merupakan spesies asli Korea telah mengalami penurunan populasi yang signifikan akibat perburuan dan hilangnya habitat alami mereka. Upaya pelestarian ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan manusia dan keberlangsungan flora dan fauna yang menjadi bagian integral dari ekosistem Korea.
Pusat ini tidak hanya berfokus pada restorasi dan pengembangbiakan rubah merah, tetapi juga menyediakan fasilitas pengamatan ekologi yang memungkinkan pengunjung untuk mempelajari lebih lanjut tentang kehidupan rubah merah Korea dan upaya pelestarian yang sedang dilakukan.
Dengan menggabungkan fungsi observasi dan restorasi ekologi, pusat ini mendukung keberlanjutan spesies rubah merah Korea di alam liar. Pusat ini juga menekankan pentingnya peran ekosistem alami dalam menjaga keseimbangan spesies, serta bagaimana manusia dapat berkontribusi dalam upaya pelestarian.
Penulis berkesempatan untuk mengamati rubah yang berada di wilayah observasi. Saat itu, pemandu dari pusat pengamatan sempat mengingatkan bahwa rubah-rubah sering kali bersembunyi ketika ada manusia sehingga penulis tidak berharap banyak. Namun, keberuntungan berpihak pada penulis karena dari atas menara observasi, seekor rubah terlihat sedang menyantap mangsa di balik balok-balok kayu. Pemandangan ini menjadi penutup yang sangat indah bagi perjalanan penulis di Yeongju, meninggalkan kesan mendalam akan keindahan alam dan pentingnya pelestarian satwa liar.
Harmoni Masa Lalu dan Masa Kini di Yeongju
Perjalanan penulis ke Yeongju bukan hanya membuka mata terhadap kekayaan sejarah dan budaya Korea, tetapi juga menunjukkan betapa eratnya hubungan manusia dengan alam di setiap era yang dilalui. Setiap situs yang penulis kunjungi menyiratkan bahwa alam bukan sesuatu yang harus dieksploitasi, tetapi harus dihormati dan dijaga, sebagai bagian integral dari kehidupan manusia. Harmoni ini tercermin dalam pemilihan lokasi makam yang mempertimbangkan elemen lanskap alami, desain akademi yang beradaptasi dengan lingkungan, serta upaya pelestarian satwa liar yang melibatkan masyarakat.
Bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang sejarah Korea, alam, dan upaya pelestariannya, Yeongju adalah tempat yang sempurna untuk merenungkan hubungan kita dengan masa lalu, alam, dan masa depan yang berkelanjutan.
margareth@korea.kr
*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.