Wartawan Kehormatan

2024.08.22

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Annisa Alifadhila dari Indonesia
Foto: Annisa Alifadhila

"Jika kau adalah ia yang disebut après girl (wanita tangguh), bahkan 55.000 cinta yang gagal pun tidak akan menjatuhkanmu."

Tangkapan layar yang menunjukkan bagian akhir dari drama musikal berjudul Après Girl yang disutradarai oleh Kim Kwang Bo dan ditulis oleh Ko Yeon Ock.

Tangkapan layar yang menunjukkan bagian akhir dari drama musikal berjudul Après Girl yang disutradarai oleh Kim Kwang Bo dan ditulis oleh Ko Yeon Ock.


Menjadi seorang wanita Korea di tahun 1950-an tidaklah mudah. Pada masa itu mereka harus menghadapi peraturan tak tertulis bahwa peran mereka dalam banyak hal telah dibatasi. Sulit bagi para wanita untuk sekadar memegang kendali atas arah hidup dan mimpi mereka. Terlebih lagi, bertepatan dengan perang sedang yang terjadi, para istri yang ditinggal oleh suaminya akibat perang makin dipandang rendah karena dianggap sudah kehilangan nahkoda dalam keluarga.

Salah satu orang yang terdampak atas kebijakan tak tampak itu adalah Park Nam-ok. Ia adalah seorang wanita yang memiliki ketertarikan pada film sejak masih duduk di bangku sekolah. Selain itu, ia sendiri pun merupakan mantan atlet tolak peluru yang memegang rekor atas lemparannya yang luar biasa. Nantinya, ia dikenal sebagai sutradara wanita pertama yang menjadi pengarah film lokal di negaranya.

Kisah hidup Park Nam-ok yang menggugah hati ini kemudian menarik perhatian seorang dosen jurusan drama dari Korea National University of Arts yang juga merupakan penulis naskah drama bernama Ko Yeon Ock. Ia kemudian menulis sebuah naskah untuk mengabadikan kisah Park dalam sebuah drama musikal berjudul Après Girl.

Foto sutradara wanita Korea pertama bernama Park Nam-ok yang sedang menggendong anaknya. Foto tersebut ditampilkan saat gelar wicara bersama Ko Yeon Ock pada tanggal 31 Juli 2024 di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta.

Foto sutradara wanita Korea pertama bernama Park Nam-ok yang sedang menggendong anaknya. Foto tersebut ditampilkan saat gelar wicara bersama Ko Yeon Ock pada tanggal 31 Juli 2024 di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta.


Drama musikal Après Girl menceritakan tentang bagaimana upaya Park dalam mengejar cita-citanya sebagai pembuat film di tengah tekanan patriarki pada masa itu. Park yang saat itu merupakan seorang penggemar aktris bernama Kim Shin-jae makin menguatkan tekadnya untuk menjadi pembuat film setelah idolanya mengalami kejadian yang tragis pasca ditinggal suami dan anaknya. Film itupun dibuat dengan judul Sang Janda.

Usaha Park dalam membuat film tentang seorang janda dimaksudkan sebagai kritik atas pandangan masyarakat yang merendahkan para wanita tanpa suami. Dalam salah satu adegannya, Park berkata, "Janda perang bukanlah wanita yang malang. Bukankah janda juga manusia? Mereka tidak seharusnya dikubur bersama suaminya."

Sayangnya, kelancaran proses pembuatan film perdana Park tidak sejalan dengan besarnya tekad yang ia miliki. Ia harus berhadapan dengan studio produksi yang menganaktirikan karyanya, kurangnya biaya produksi, hingga ditipu oleh orang yang ia percaya. Namun, dari semua yang telah disebutkan, tantangan terbesar bagi Park adalah fakta bahwa ia harus memboyong serta anaknya yang baru lahir selama proses produksi film. Hal ini pula yang menjadi penggerak utama Ko dalam menulis naskah drama musikal tentang Park.

Poster kegiatan gelar wicara bersama Ko Yeon Ock pada tanggal 31 Juli 2024 di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta.

Poster kegiatan gelar wicara bersama Ko Yeon Ock pada tanggal 31 Juli 2024 di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta.


Terkait hal itu, Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) menggelar gelar wicara pada tanggal 31 Juli 2024 dengan mengundang Ko sebagai narasumber. Ko mengungkapkan bahwa salah satu momen yang paling berkesan selama pembuatan drama musikal Après Girl adalah tulisan dari putri Park yang selalu digendong Park selama pembuatan filmnya. Putri Park menulis bahwa ia kesal tiap disamakan dengan ibunya. Namun, lambat laun ia menyadari betapa hebat ibunya.

Selain karena pandangan personal Ko atas upaya Park dalam mewujudkan cita-citanya, alasan penyusunan drama musikal Après Girl juga didasari oleh maraknya gerakan #MeToo yang menjadi gelombang besar dalam sejarah meraih kesetaraan gender di Korea sekitar tahun 2018. Pada kala itu sudah banyak orang yang mulai menaruh perhatian pada karya-karya yang bertemakan dan/atau dibuat oleh perempuan. Selain itu, karya Ko juga ditampilkan sebagai pertunjukan untuk peringatan 70 tahun pasca Perang Korea di awal tahun 2021 sehingga perilisan drama musikal Après Girl merupakan hal yang tepat jika dilandasi pada situasi tersebut.

Poster penayangan drama musikal Après Girl di CGV Pacific Place, Jakarta.

Poster penayangan drama musikal Après Girl di CGV Pacific Place, Jakarta.


Penulis sendiri berkesempatan menyaksikan keseluruhan pertunjukan drama musikal Après Girl lewat penayangan yang diadakan oleh KCCI di CGV Pacific Place, Jakarta. Pertunjukan yang ditayangkan pada 13 Agustus 2024 itu dengan dilengkapi takarir bahasa Indonesia sehingga memudahkan para penonton memahami isi ceritanya. Ruang bioskop pun dipenuhi oleh para penonton yang antusias menyaksikan kisah Park.

Bagi penulis, kisah yang dibawakan oleh Park dan kemudian diceritakan kembali oleh Ko itu memberikan kesan tersendiri. Pertama, penulis ikut merasakan betapa beratnya rintangan yang harus Park hadapi hanya demi mengejar cita-citanya sebagai pembuat film. Berbagai diskriminasi yang ia hadapi sebagai perempuan cukup membuat penulis merenungi betapa pentingnya kesetaraan dalam memperlakukan setiap orang.

Kedua, selain menceritakan tentang proses meraih mimpi, drama musikal Après Girl turut menyajikan gambaran hubungan romansa pada masa itu. Sama seperti yang penulis kutip di awal, drama musikal ini seolah memberikan pesan bahwa wanita yang tangguh adalah wanita yang tidak akan goyah meski ia kehilangan cintanya.

Meskipun demikian, drama musikal Après Girl ditutup dengan akhir yang mungkin saja tidak sesuai dengan ekspektasi para penonton. Pada akhirnya, Park digambarkan harus melepas mimpinya sebagai pembuat film setelah berulang kali diterpa kesulitan. Akhir yang menyedihkan, tetapi merupakan gambaran yang realistis. Para penonton pun tetap memberikan tepuk tangan setelah penayangan drama musikal Après Girl berakhir.

Pasca menonton keseluruhan ceritanya, penulis meyakini bahwa tujuan dari pembuatan drama musikal Après Girl bukan hanya untuk memperkenalkan seorang sutradara wanita pertama dari Korea, tetapi juga sebagai kritik pada masyarakat yang masih memandang wanita tidak bisa apa-apa.

Interpretasi yang penulis dapatkan ini juga selaras dengan harapan yang Ko sampaikan. Lewat drama musikal Après Girl, Ko berharap agar cerita Park bukan hanya sekadar cerita dari masa lalu, tetapi juga menjadi cerita yang hidup hingga masa kini. Ia juga berharap agar makin banyak seniman wanita yang mengepakkan sayapnya dengan karya-karya mereka.


margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait