Wartawan Kehormatan

2023.06.16

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Elfida Lubis dari Indonesia


I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki bisa jadi buku kategori nonfiksi asal Korea terlaris di Indonesia sampai saat tulisan ini diterbitkan. Buku karangan Baek Se-hee yang diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Haru tersebut telah dicetak ulang lebih dari 20 kali. Almond, fiksi karya Sohn Won-pyun terbitan Grasindo yang sedang penulis baca sudah masuk cetakan kesepuluh. Sementara Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 oleh Choo Nam-joo yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) pun sudah beberapa kali cetak ulang.

Seingat penulis, buku tentang Korea yang dulu sering ditemui hanyalah seputar pelajaran bahasa dan pariwisata. Apakah karena RM alias Kim Nam-joon dari BTS kerap terciduk membawa, membaca, dan merekomendasikan buku, sehingga tercipta pasar baru?


Kapan Literatur Korea Masuk Indonesia?
Ternyata jauh sebelum buku-buku fiksi dan nonfiksi Korea populer saat ini, pasar buku Korea sudah ada di tanah air. Penulis mewawancarai pendiri dan editor dari empat penerbit di Indonesia yang menerbitkan buku Korea, yaitu Baca, Elex Media Komputindo, GPU, dan Haru. Data yang berhasil penulis kumpulkan menyebutkan bahwa pada tahun 2009 buku Korea bergenre komik pendidikan telah masuk lewat Elex Media Komputindo.

"Memang, tidak banyak yang tahu jika seri komik pendidikan Why? berasal dari Korea. Bahkan, anak-anak yang jadi pembaca setianya mengira buku tersebut berasal dari Amerika atau Eropa. Beberapa dari mereka baru tahu kalau Why? berasal dari Korea setelah berkunjung ke kantor kami dan mendengarkan penjelasan dari para redaksi," jelas Diana Hayati, Editor in Chief for Education Comic Elex Media Komputindo.

Elex Media yang memang dikenal sebagai penerbit komik menilai kelebihan seri itu adalah komik pendidikan yang menampilkan ilustrasi menarik dengan halaman berwarna serta dibuat di bawah pengawasan para ahli di bidang masing-masing, seperti dosen atau peneliti. "Saat itu, penerbit kami sedang mencari materi yang dapat membuat anak-anak belajar dengan fun, tanpa rasa takut, ataupun jenuh. Kami menemukan hal tersebut pada komik dari Korea," ungkap Diana lebih lanjut.

230616_Literature_1

Display seri Why? di toko buku. (Elex Media Komputindo)


Sambutan pasar luar biasa. Lebih dari 2,5 juta eksemplar terjual. Elex Media pun memutuskan untuk menerbitkan komik pendidikan lain, yaitu Ten Ten Series yang ditujukan bagi anak perempuan. Sambutannya pun meriah. Lantas, seri lain bermunculan, seperti Cookie Run, Jobs, Oh My God!, dan Science Quiz. Menurut Diana, animo baik tersebut terjadi mengingat komik pendidikan merupakan jenis buku yang berumur panjang.

Hingga kini, sudah lebih dari 25 penerbit di Korea yang bekerja sama dengan Elex Media. Meski begitu, tak mudah untuk mewujudkan kerja sama dengan mereka. "Penerbit Korea butuh bukti bahwa penerbit kami memang dikenal dan mampu untuk menerbitkan komik pendidikan di Indonesia. Kami pun memberikan data-data tentang penerbitan komik Jepang dan dengan penerbit mana saja kami telah bekerja sama," kisah Diana.


Penerbit Baru Bermunculan, Literatur Korea Semakin Jaya
Lantas, sejak kapan buku fiksi dan nonfiksi Korea hadir di tengah-tengah pembaca Indonesia? Pada tahun 2011, GPU menerbitkan novel terjemahan Korea untuk pertama kalinya. Buku berjudul Ibu Tercinta (Please Look After Mom) karya Shin Kyung-sook itu mencatat angka penjualan yang cukup bagus, meski tidak booming. Hal ini dijelaskan oleh Juliana Tan selaku Executive Editor for Fiction GPU.

Pada awal tahun 2019, GPU kembali menerbitkan novel Anak Teladan karya Jeong You-jeong. Novel thriller tersebut lumayan mendapat perhatian pembaca hingga cetak ulang. Akhir tahun 2019, GPU menerbitkan edisi Indonesia dari novel terkenal Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 yang tentu saja, mendapat respons luar biasa. Buku nonfiksi pun menerima sambutan hangat, terutama Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang karya Jeong Moon-jeong yang terbit masih di tahun yang sama. Hingga saat ini, GPU sudah bekerja sama dengan sekitar 20 penerbit Korea.

230616_Literature_2

Beberapa novel terjemahan Korea oleh GPU. (GPU)


Tak hanya GPU, Haru pun langsung menyasar literatur Korea sebagai taman bermainnya walaupun saat itu masih terhitung sebagai penerbit baru. Penerbit ini didirikan oleh Lia Indra Andriana yang merupakan seorang penulis pada tahun 2011. Setahun setelahnya, buku pertama mereka So, I Married the Antifan terbit dan langsung dicetak ulang dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. "Sebuah pencapaian yang menggembirakan, mengingat saat itu penerbit Haru baru berumur satu tahun," kenang Lia.

Pada awalnya, Haru didirikan atas kecintaan terhadap budaya Korea. Belum banyak buku terjemahan Korea di Indonesia sehingga tujuan utama mereka adalah menularkan dan memperkenalkan novel Korea, diikuti novel Jepang, dan negara Asia lainnya. "Buku pertama yang kami cari saat itu adalah buku pop culture populer untuk pembaca remaja dan dewasa muda. Setelah lama mencari, akhirnya menemukan buku So, I Married the Antifan. Kami langsung jatuh cinta dengan tema dan gaya penulisannya,” cerita Lia dan Francisca Ratna, editor Haru.

230616_Literature_3

Lia Indra Andriana di acara buku Korea oleh Patjarmerah di Surabaya. (Haru)


Lia melanjutkan bahwa pada tahun 2012, buku Korea yang merajai pasar Indonesia adalah novel bergenre romansa. "Ada beberapa penulis Korea yang populer di Haru, yaitu Kim Eun-jeong (So, I Married the Antifan), Hyun Go-wun (4 Ways to Get a Wife), dan Lee Sae-in (Explicit Love Story). Lalu tahun 2015 kami menerbitkan komik tentang sifat manusia berdasarkan golongan darah (Simple Thinking about Blood Type) yang meroket dan menjadi perbincangan para pecinta buku. Buku ini memperluas audiensi Haru dari yang awalnya wanita usia remaja sampai dewasa muda, kemudian ditambah pembaca pria mulai dari usia SMP hingga bekerja. Kami juga mencoba menerbitkan komik romansa remaja, namun sayangnya tidak mendapat respons yang bagus," tambah Lia.

Pada tahun 2019, Haru mulai menjajal buku esai dan diterima dengan sangat baik bahkan sampai sekarang melalui buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki. Perkenalan Haru dengan belasan penerbit Korea sering dijembatani oleh agen literasi. Lalu mulai tahun 2013, mereka berkesempatan mengunjungi Seoul International Book Fair maupun Comic Book Fair melalui jalur undangan. "Dengan berkunjung langsung, kami bisa melihat tren dan membawa buku-buku terbaik dari Korea untuk pembaca Indonesia," ungkap Lia.

Saat ini, Seoul International Book Fair (SIBF) tengah berlangsung, tepatnya mulai dari 14-18 Juni di Convention and Exhibition Center (COEX) dengan tema "Nonhuman." Pameran buku ini merupakan pameran buku terbesar di Korea sekaligus menjadi platform yang menghubungkan Korea dengan dunia melalui buku. SIBF diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata bekerja sama dengan Asosiasi Penerbit Korea (KPA).

Pada bulan Maret 2016, Baca hadir sebagai kompetitor baru yang langsung menggebrak dengan menerbitkan Vegetarian karya Han Kang di tahun 2017. Vegetarian merupakan pemenang Man Booker International Prize. "Waktu itu, pada 2016, sedang ramai berita tentang novel Lelaki Harimau yang ditulis Eka Kurniawan berhasil masuk short-list Man Booker International Prize. Sayangnya, langkah Eka terhenti karena penghargaan disabet oleh Han Kang dengan karyanya, Vegetarian," cerita Aniesah Hasan Syihab selaku CEO dan juga salah satu pendiri Baca bersama tiga orang rekannya, Qamaruddin SF, Anton Kurnia, dan seorang lagi yang tak mau disebutkan namanya.

"Kebetulan, Anton Kurnia pernah bertemu dengan agen literasi yang menangani Han Kang dan entah bagaimana mereka menawari kami naskah tersebut. Awalnya, kami ragu karena saat itu kami baru saja berdiri dan pasar kami masih kecil dan terbatas. Akan tetapi, saat mendengar bahwa Vegetarian menang, kami akhirnya mantap untuk menerbitkan novel tersebut. Yang tak kami sangka, ternyata pembaca Indonesia menyambut Vegetarian dengan meriah hingga dicetak ulang beberapa kali, termasuk sempat berganti sampul. Vegetarian jugalah yang membuat nama Baca makin dikenal. Bisa dibilang, novel ini menjadi pintu gerbang maraknya karya-karya Korea masuk ke Indonesia," tambah Aniesah.

230616_Literature_4

Aniesah Hasan Syihab dengan penulis Han Kang. (Baca)


Genre sastra Korea untuk pembaca dewasa pun terus gencar diterbitkan, seperti Mata Malam (Human Acts) karya Han Kang, The Hole karya Pyun Hye-young, dan kumpulan cerpen Potongan Tubuh. Namun sejak pandemi, novel-novel 'berat' ternyata tak lagi disambut meriah oleh khalayak. "Sejak itu, kami banting setir dan mulai menerbitkan novel-novel ringan yang menyenangkan, seperti Dallergut: Toko Penjual Mimpi yang akhirnya menjadi bestseller sampai sekarang dan merupakan pelopor healing fiction," terang Aniesah. Sejauh ini, Baca telah berkolaborasi dengan tujuh penerbit asal Korea.


Seputar Tantangan dan Keuntungan Menerbitkan Buku Korea
Aniesah dari Baca menyadari bahwa perjalanan menerbitkan buku Korea di Indonesia akan semakin menantang. "Karena buku Korea semakin diminati, naskah diperebutkan oleh beberapa penerbit sekaligus, bahkan bisa sampai terjadi bidding. Kemudian, ada juga naskah yang sulit dicari proprietor-nya. Namun, jika dibandingkan dengan prosedur akuisisi naskah dari negara Asia Timur lain, misalnya Jepang yang sangat ketat dan rigid, prosesnya relatif lebih ringan," terangnya.

Juliana dari GPU menyebutkan faktor sumber daya yang terbatas menjadi tantangan tersendiri dalam menerbitkan buku asing, khususnya Korea, di Indonesia. "Kendala yang kami hadapi adalah bagaimana mencari penerjemah fiksi yang bagus yang bisa menerjemahkan dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia dengan luwes," sebutnya. Fakta yang diungkap pihak GPU ini mungkin dapat menjadi motivasi bagi para pembaca yang saat ini sedang mempelajari bahasa Korea untuk semakin serius.

'Perebutan' hak cipta yang akhirnya dimenangkan oleh penerbit lain sampai hasil penjualan yang slow moving adalah tantangan bagi para penerbit literatur Korea. Sementara kebahagiaan yang mereka sepakati adalah dukungan dari pemerintah Korea pada industri penerbitan sehingga memudahkan penerbit internasional untuk bekerja sama dengan penerbit Korea. Diana Pranasari sebagai editor Baca bercerita bahwa pemerintah Korea memberikan hibah untuk mendukung penerbitan buku-buku Korea. Baca termasuk salah satu penerbit yang menerima hibah tersebut. "Terakhir, kami mendapatkannya ketika menerbitkan Memory Bookstore karya Chong Myung-seob," ujarnya.

Mereka pun berbagi seputar faktor yang memudahkan buku Korea diterbitkan di Indonesia, yaitu kedekatan budaya yang membuat tema-temanya terasa dekat dan familiar dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa Korean Wave menjadi faktor kuat dalam perkembangan buku-buku terjemahan Korea di pasar Indonesia. Meski begitu, tema-tema buku itu sendiri yang pada akhirnya membuat pembaca Indonesia menyukainya. "Terutama buku pengembangan diri atau esai karena topiknya cukup relevan dengan keadaan kita. Buku Korea sering menyentuh isu sosial, terutama generational trauma yang belum banyak disentuh penulis lokal. Temanya pun lebih bervariasi dibandingkan buku lokal," tutur Juliana.

Untuk menjaga kualitas, para penerbit mengawasi betul jumlah terbitan per periode. Haru dan Baca berkisar di angka delapan sampai sepuluh buku tiap tahunnya, sedangkan GPU sekitar tujuh buku. Sementara untuk Elex Media, Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. "Sebelum pandemi, kami bisa menerbitkan enam hingga delapan judul baru komik pendidikan dan lebih dari lima judul dicetak ulang setiap bulannya. Namun, setelah pandemi kami hanya menerbitkan tiga hingga empat judul baru dengan tiga hingga empat judul yang dicetak ulang," ucap Diana.


margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait