Wartawan Kehormatan

2022.10.06

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Oleh Wartawan Kehormatan Audrey Regina dari Indonesia


Bicara tentang sastra di Korea, terutama puisi, salah satu nama yang terbersit di benak orang-orang Korea adalah Yun Dong Ju. Penulis puisi kelahiran 30 Desember 1917 itu terkenal akan puisi-puisinya yang bertema perjuangan dan kecintaannya terhadap tanah air. Salah satu buku kumpulan puisinya yang paling terkenal berjudul Langit, Bintang, Angin, dan Puisi. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada tahun 2018 silam.

Yun Dong Ju lahir di Tiongkok pada zaman ketika Korea masih ada di bawah pendudukan Jepang. Pada tahun 1932, Yun Dong Ju pindah ke Longjing untuk bersekolah di Eunjin Middle School. Di sekolah, Yun Dong Ju terkenal sebagai sosok yang aktif dalam kegiatan literasi sekolah, klub sepakbola, dan juga pernah memenangkan lomba pidato. Sejak itulah, bakat Yun Dong Ju dalam bidang sastra mulai terlihat. Puisi pertamanya yang diketahui berjudul "A Candle" ditulisnya untuk menyambut Malam Natal pada tahun 1934.

Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1935, Yun Dong Ju melanjutkan pendidikan ke Pyeongyang Soongsil Boys Academy. Di sana, Yun Dong Ju semakin aktif menulis puisi. Beberapa puisinya pernah diterbitkan di majalah sekolah dan juga majalah gereja. Lalu pada tahun 1937, Yun Dong Ju pun lulus. Tahun 1938, ia mendaftarkan diri ke Yonhui College (sekarang Yonsei University) yang ada di kota Gyeongseong (sekarang Seoul).

Di Korea, Yun Dong Ju terkenal akan keberaniannya menentang kolonialisme Jepang atas Korea. Yun Dong Ju pada masa itu bukanlah sosok pemuda yang menentang kolonialisme dengan mengandalkan tenaganya, melainkan ia mencurahkan perasaan dan suaranya lewat puisi-puisinya. Oleh karena itu, puisi-puisi karangannya selalu mengangkat tema tentang realita kehidupan rakyat Korea pada zaman itu. Semasa hidupnya, setidaknya ada 124 buah puisi yang telah ia tulis, di antaranya yang paling terkenal adalah "Prelude", "Counting the Stars", dan "The Cross".

Berikut adalah penggalan dari salah satu puisi terkenal Yun Dong Ju "Counting the Stars" yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Shin Young Duk dan Nenden Lilis A, penerjemah buku Langit, Angin, Bintang, dan Puisi.

"Aku rindu sesuatu yang entah
Di atas bukit yang bermandikan cahaya bintang itu,
kutuliskan namaku,
lalu kutimbun dengan tanah

Sebab serangga-serangga yang berdesik sepanjang malam
Bersedih menangisi namanya yang memalukan

Namun, aku percaya, saat dingin berlalu dan musim semi mekar di bintangku,
layaknya ilalang biru yang tumbuh di atas pusara,
di atas bukit yang mengubur namaku,
rumput akan merimbun dengan bangga"

Buku puisi Yun Dong Ju dan Chairil Anwar yang diterbitkan di Indonesia. (Pustaka Obor dan Gramedia)

Buku puisi Yun Dong Ju dan Chairil Anwar yang diterbitkan di Indonesia. (Pustaka Obor dan Gramedia)


Buku catatannya selalu dipenuhi oleh puisi karangannya. Yun Dong Ju juga diketahui pernah beberapa kali menulis puisi anak-anak dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Kehidupan Yun Dong Ju menjadi lebih kompleks setelah kolonialisme Jepang di Joseon (nama negara Korea saat itu) semakin terasa. Pada tahun 1942, Yun Dong Ju pindah ke Jepang, melanjutkan studi Sastra Inggris di Rikkyo University.

Pendidikannya itu hanya bertahan satu semester karena semester selanjutnya, ia pindah ke Doshisha University. Sayangnya, pada Juli 1943, Yun Dong Ju ditangkap dan manuskrip berisi puisi-puisi tulisannya pun ikut disita. Ia ditahan selama 2 tahun di penjara distrik Kyoto, dan kemudian dipindah ke penjara di distrik Fukuoka. Aktivitasnya selama berada di penjara menjadi terbatas. Yun Dong Ju tidak bisa menulis puisi dengan leluasa seperti dulu. Perjuangannya melalui puisinya pun harus terhenti, karena Yun Dong Ju mengembuskan napas terakhir pada tanggal 16 Februari 1945. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa alasan meninggalnya Yun Dong Ju hingga sekarang pun masih menyisakan tanda tanya.

Pada tahun 1948, tiga tahun sesudah kemerdekaan Korea, barulah buku puisi Yun Dong Ju dapat diterbitkan. Keluarganya menyerahkan kumpulan puisi Yun Dong Ju ke penerbit. Lee Jeong menjadi pelukis yang bertanggung jawab untuk mendesain sampul buku, dan adik Yun Dong Ju, Yun Il Ju yang melakukan proses sunting, hingga akhirnya terbitlah buku puisi pertama sekaligus terakhir dari seorang penulis puisi paling bersejarah di Korea, Yun Dong Ju.

Kisah perlawanan Yun Dong Ju lewat puisinya sudah diangkat ke layar lebar pada tahun 2015 lalu, dalam film garapan sutradara Lee Joon Ik yang berjudul Dong Ju. Adapun Kang Ha Neul dipercaya untuk memerankan tokoh Yun Dong Ju. Lewat film itu, penonton diajak untuk menelusuri lebih dalam lagi tentang sosok Yun Dong Ju semasa hidupnya.

Tidak hanya itu, sebagai penghormatan dan untuk mengabadikan sosok Yun Dong Ju dan puisi-puisinya, pemerintah Korea pun mendirikan Yoon Dong Ju's Literature Museum yang beralamatkan di 119 Changuimun-ro, Jongno-gu, Seoul, Korea.

Tidak hanya Korea, Indonesia juga memiliki penulis puisi berbakat yang namanya tak lekang oleh waktu, Chairil Anwar. Keduanya pun memiliki beberapa kemiripan dilihat dari kehidupannya. Chairil Anwar juga pernah merasakan hidup pada zaman kolonialisme Jepang di Indonesia. Chairil Anwar lahir pada tahun 1922 dan kemudian meninggal di tahun 1949 karena penyakit yang dideritanya. Sama seperti Yun Dong Ju, Chairil Anwar juga melakukan perlawanan untuk memperjuangkan kemerdekaan melalui puisi-puisinya.

Chairil Anwar lahir di kota Medan, lalu pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Dia hanya bersekolah sampai tingkat dasar di HIS (Hollands-Inlandsche School) karena tidak berhasil lulus dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah pada zaman Belanda dulu). Meski begitu, Chairil Anwar tetap memiliki semangat belajar. Ia melahap buku pelajaran yang digunakan di Hogere Burger School yang setara dengan SMA, dan juga belajar bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.

Salah satu karyanya yang paling terkenal berjudul "Aku", dari situlah, Chairil Anwar juga mendapat julukan "Si Binatang Jalang". Beberapa karyanya juga bercerita tentang kematian, seolah Chairil Anwar tahu bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Sedangkan salah satu karyanya bertema kemerdekaan yang terkenal adalah "Karawang Bekasi", yang bercerita tentang pembantaian penduduk Kampung Rawagede oleh tentara Belanda. Berikut ini adalah penggalan dari syair puisi tersebut,

"Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang Bekasi"

Yun Dong Ju dan Chairil Anwar adalah pejuang kemerdekaan di negara mereka masing-masing. Mereka menorehkan pikiran mereka dalam bentuk puisi. (KOCIS dan Kemdikbud)

Yun Dong Ju dan Chairil Anwar adalah pejuang kemerdekaan di negara mereka masing-masing. Mereka menorehkan pikiran mereka dalam bentuk puisi. (KOCIS dan Kemdikbud)


Buku puisi karangannya juga baru diterbitkan beberapa tahun setelah Chairil Anwar meninggal. Salah satu judul bukunya yang paling laris adalah Aku Ini Binatang Jalang yang diterbitkan oleh Gramedia. Selain itu, ada juga sederet buku kumpulan puisi lainnya, seperti Deru Campur Debu yang diterbitkan tahun 1949 oleh Penerbit Pembangunan, Kerikil Tajam yang Terampas dan Putus terbit tahun 1949 oleh Pustaka Rakyat, dan Tiga Menguak Takdir pada tahun 1950 diterbitkan oleh Balai Pustaka. Tidak hanya menulis puisi, Chairil Anwar juga pernah menerjemahkan sajak-sajak berbahasa asing, karena ia memang memiliki kemampuan bahasa asing.

Berkat ketekunan dan kegigihannya, Chairil Anwar juga dikenal sebagai pelopor puisi angkatan 45. Tanggal ketika ia mengembuskan napas terakhirnya karena penyakit paru-paru yang dideritanya, yaitu 28 April, juga diangkat menjadi Hari Puisi Nasional di Indonesia. Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak di Jakarta menjadi tempat peristirahatan terakhir Chairil Anwar.

Yun Dong Ju dan Chairil Anwar, keduanya merupakan penyair hebat yang namanya masih dikenang hingga kini di negaranya masing-masing. Keduanya telah menunjukkan rasa cinta mereka yang mendalam terhadap negaranya, yang ditumpahkan ke dalam bentuk puisi. Yun Dong Ju dan Chairil Anwar telah meninggalkan harta yang begitu berharga bagi Korea dan Indonesia dalam bidang sastra, dan perjuangan mereka lewat puisi akan selalu dikenang hingga kapan pun.

margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net yang berasal dari seluruh dunia serta membagikan cinta dan semangat mereka untuk semua hal yang berhubungan dengan Korea Selatan.

konten yang terkait