Penulis: Gil Kyuyoung
Han Kang menjadi sastrawan Korea pertama yang meraih Nobel Sastra pada tanggal 10 Oktober 2024. Hal itu membuat sastra Korea semakin mendapatkan sorotan dari masyarakat dunia.
Dalam wawancara melalui telepon dengan Akademi Swedia, Han Kang berkata, "Saya tumbuh dengan membaca buku-buku terjemahan dan bahasa Korea. Saya mendapatkan inspirasi dari para sastrawan senior yang mencari makna kehidupan."
Nobel sastra yang mampu diraih oleh sastrawan Korea merupakan hasil dari akar mendalam sastra Korea di kehidupan masyarakat Korea. Pijakan awal sastra Korea dapat dilihat melalui pameran bernama The Pulse of Korean Literature yang digelar di Chunchugwan, Cheong Wa Dae.
Melalui pameran tersebut, pengunjung bisa melihat berbagai manuskrip kuno yang sebelumnya sulit untuk dilihat secara langsung. Korea.net mengunjungi pameran tersebut pada tanggal 26 Oktober 2024.
Pengunjung terlihat memenuhi Pintu Chunchumun saat Korea.net memasuki Cheong Wa Dae. Sebagian dari mereka masuk ke Chunchugwan untuk mengunjungi pameran sastra tersebut.
Pada hari itu Wakil Kepala Bagian Pengelolaan Pameran Museum Nasional Sastra Korea Ahn Jaeyeon berkata, "Pameran ini disiapkan untuk menyambut lima tahun penetapan pendirian Museum Nasional Sastra Korea. Kami memilih lebih dari 70 manuskrip langka dari sebelas ribu buah dokumen yang kami miliki untuk dipamerkan di sini."
Setelah masuk ke ruang pameran, berbagai manuskrip kuno terlihat di depan mata. Pengunjung bisa melihat berbagai karya sastra yang mampu mengubah sejarah sastra pada bagian pertama pameran, salah satunya adalah karya sastra pertama yang ditulis dalam hangeul, yaitu Yongbieocheonga.
Yongbieocheonga sangat penting karena merupakan karya epos (syair nyanyian panjang) yang menceritakan berdirinya Dinasti Joseon (1392-1910) dan pencapaian bersejarah enam leluhur Dinasti Joseon dari Raja Mokjo hingga Raja Taejong.
Tak hanya itu, berbagai karya sastra kontemporer dan surat kabar juga bisa ditemukan di pameran ini, misalnya novel baru pertama pada masa sastra kontemporer, yaitu Blood Rain karya Lee Injik. Novel panjang Korea pertama juga bisa dilihat, yaitu Mujong karya Yi Gwangsu.
Karya sastra kontemporer Korea dapat ditemui di bagian kedua pameran ini. Di sana, pengunjung bisa langsung melihat buku puisi Deer karya Paek Sok yang terkenal. Ahn berkata, "Saat buku puisi tersebut diterbitkan, buku tersebut langsung menjadi perbincangan di mana-mana. Bahkan ada gosip yang menyebutkan bahwa penyair ternama Yun Dongju sampai harus menyalin isinya karena tidak bisa mendapatkannya langusng."
Di sisi lain, terlihat novel Potato karya Kim Dong-in yang merupakan novel penting pada masa sastra kontemporer Korea di tahun 1920-1930. Novel tersebut mendapatkan penilaian sebagai novel pendek yang menjadi pijakan pada masa itu karena bahasanya yang lugas dan sudut pandangnya yang realistis.
Pada bagian ketiga pameran pengunjung bisa melihat berbagai karya utama dalam sejarah sastra Korea mulai dari masa Dinasti Goryeo (918-1392) hingga Dinasti Joseon. Salah satunya adalah Samguk Yusa yang berisi berbagai kisah mulai dari Mitologi Dangun hingga nyanyian pada masa Dinasti Silla (57 SM s/d 935 M).
Karya lain yang tidak boleh dilewatkan adalah Gosan Yugo karya Yoon Sun-do yang berisi berbagai puisi dan tulisan seorang cendekiawan yang ingin tinggal di alam setelah meninggalkan dunia yang bising. Salah satu puisi di dalam buku tersebut adalah "Fisherman's Calendar" yang menceritakan siklus kehidupan seorang nelayan pada masa itu.
Karya-karya sastra Korea yang sudah diperkenalkan di luar Korea, dipamerkan pada bagian keempat pameran. Salah satu karya yang ada di sana adalah buku puisi karya Heo Nanseolheon yang merupakan puisi wanita Korea pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Ahn menjelaskan, "Heo pertama kali dikenal di luar Korea melalui utusan dari Dinasti Ming (1368-1644) sehingga karyanya cukup populer di Tiongkok dan Jepang."
The Grass Roof karya Kang Younghill diterbitkan dalam bahasa Inggris sehingga membuat Joseon menjadi dikenal di dunia barat. Kang menjelaskan berbagai hal di Korea dalam bahasa Inggris, seperti semangat para cendekiawan dan Gerakan Kemerdekaan Satu Maret.
Pada bagian terakhir pameran para pengunjung bisa melihat berbagai manuskrip asli dan donasi yang hanya ada satu di Korea serta disimpan oleh Museum Nasional Sastra Korea. Salah satu karya yang menarik perhatian adalah karya Yi Sang nomor dua yang merupakan sebuah buku puisi berisi semangat anti Jepang.
Ahn mengungkapkan, "Ia telah memprediksi lebih awal mengenai ketakutan terkait kolonialisme, materialisme, serta ilmu pengetahuan. Karya ini dibuat sesuai dengan pemikiran manusia."
Berbagai karya langka lain yang bisa dilihat adalah tulisan-tulisan tangan penyair Seo Jeong-ju, buku puisi Handosipyeong yang berisi pemandangan Kota Hanyang pada abad ke-15, serta novel Takryu karya Chae Man-sik yang menjadi karya novel realisme utama pada tahun 1930-an.
Penyair Lee Gu Cheol yang mengunjungi pameran berkata, "Saya akhirnya bisa melihat langsung manuskrip asli dari karya-karya yang sebelumnya hanya pernah saya lihat melalui buku saja. Semoga banyak guru dan murid sekolah yang datang berkunjung untuk lebih memahami sejarah sastra Korea."
Semakin banyak yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai sastra Korea setelah Han Kang menerima Nobel Sastra pada bulan Oktober 2024. Wisatawan bisa mengenal sejarah sastra Korea melalui pameran The Pulse of Korean Literature yang digelar hingga tanggal 24 November 2024 di Chunchugwan, Cheong Wa Dae, Seoul.
gilkyuyoung@korea.kr