Biarawati Hwang Kyung Soon dari Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkkottongnae terlihat sedang memberikan kata sambutan setelah menerima penghargaan presiden pada Upacara Penghargaan Relawan Korea di Luar Korea yang digelar pada bulan Desember 2024 di kantor pusat KOICA yang terletak di Kota Seongnam, Provinsi Gyeonggi.
Penulis: Kim Hyelin
Foto: KOICA
"Saya mendapatkan kekuatan setiap hari dengan melihat adanya Tuhan di dalam anak-anak yang miskin dan sakit."
Seorang biarawati bernama Hwang Kyung Soon dari Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkottongnae sudah menghabiskan 17 tahun hidupnya bersama anak-anak yang terjangkit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) di Uganda.
Pada tahun 2024 Hwang menerima penghargaan tertinggi untuk relawan Korea yang beraktivitas di luar Korea. Penghargaan presiden tersebut ia dapatkan karena kerja kerasnya mengurus anak-anak tersebut di Rumah Cinta yang dijalankan oleh lembaga relawan Korea bernama Kkottongnae.
Perjalanan Hwang menjadi seorang relawan dimulai dari selembar foto yang ia lihat di surat kabar yang dibaca oleh ayahnya. Saat itu usianya masih 18 tahun.
Gambaran seorang anak kecil dari Afrika yang kurus kering dengan tulang menonjol dan perut yang buncit terus terpatri di ingatannya. Itulah yang membuatnya bertekad untuk hidup dengan mengasuh anak-anak itu.
Hwang lalu menjadi relawan di Kkottongnae yang berada di Eumseong-gun, Provinsi Chungcheongbuk. Saat itulah ia tersadar bahwa ia harus hidup sebagai seorang biarawati agar bisa mengasuh anak-anak yang terbuang.
Hwang merasa ia menemukan jawaban mengenai alasan ia harus hidup. Ia lalu bergabung ke dalam Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkottongnae, lalu menjalani hidup sebagai seorang relawan setelah ditempatkan di Uganda pada tahun 2007 lalu.
Biarawati Hwang Kyung Soon dari Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkkottongnae mengungkapkan bahwa ia ingin memberikan bantuan nyata dengan mengunjungi berbagai wilayah di Uganda, lalu membantu warga setempat yang mengalami kesulitan.
Kkottongnae di Uganda memberikan bantuan medis dasar dan pendidikan kepada anak-anak yatim piatu yang miskin dan menderita penyakit. Terdapat dua cabang Kkottongnae di Uganda, yaitu di desa Karama dan Kiruhara yang terletak di sebelah barat Uganda,
Saat ini, Hwang dan para rohaniwan lainnya mengasuh lebih dari 280 orang anak, tunawisma, dan penyandang cacat di kedua cabang Kkottongnae tersebut.
Hwang telah mengunjungi lebih dari 5.000 keluarga di Uganda dan terus berusaha untuk memberikan bantuan agar warga setempat bisa menjalani hidup dengan lebih baik.
Hwang berkata, "Kami bukannya memberikan bantuan seadanya hanya karena mereka miskin dan memiliki penyakit. Kami memberi bantuan sesuai yang mereka butuhkan setelah kami memahami keadaan dan latar belakang mereka."
Hwang mengungkapkan bahwa tujuannya adalah memberikan bantuan agar nantinya anak-anak tersebut bisa hidup mandiri untuk memperbaiki keadaan mereka sendiri.
Prinsip Hwang adalah memberikan bantuan nyata, seperti membangun rumah bata dan memberikan peralatan sekolah, untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki rumah serta membutuhkan bantuan untuk biaya sekolah dan medis.
Uganda dilanda kekeringan parah selama 1,5 tahun pada tahun 2019. Kehidupan warga setempat sangat kritis, bahkan ada lima keluarga yang meninggal hanya di dalam satu lingkungan desa saja. Saat itu kantor pusat Kkottongnae mengirimkan bantuan berupa tepung jagung untuk warga Uganda.
Hwang juga membantu pemakaman anak-anak yang meninggal karena AIDS serta melihat seorang biarawati yang pulih setelah terkena penyakit berat.
Hwang mengatakan, "Kami merupakan komunitas yang memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal serta membantu mereka yang masih hidup agar bisa terus hidup. Setiap waktu sangatlah berharga."
Biarawati Hwang Kyung Soon dari Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkkottongnae berfoto bersama anak-anak asuhnya di Uganda.
Kkkottongnae di Uganda telah membawa perubahan yang tidak kecil di daerah-daerah tempat mereka beroperasi.
Hwang berkata, "Mereka memang masih miskin, tetapi ada keluarga yang membantu membelikan makanan dengan menggunakan setengah dari gaji mereka dan ada pula yang memberikan sebagian dari tanah untuk pembangunan rumah bata bagi tunawisma."
Hwang menambahkan, "Saya bersyukur karena buah dari usaha kami terlihat sejak dua hingga tiga tahun lalu."
Hwang berkata bahwa tujuan hidupnya yang masih tersisa adalah menjalankan sebuah program yang bisa mengajarkan makna dari relawan dan cinta di Uganda.
Ia mengungkapkan, "Saya berpikir bahwa saya harus mengubah pola pikir masyarakat di sini. Sebagian dari mereka kadang berbohong atau mengambil barang orang lain untuk bertahan hidup. Saya ingin mendirikan lembaga bernama Pelatihan Cinta."
Hwang juga mengungkapkan bahwa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Uganda. "Usia saya memang sudah mencapai 73 tahun, tetapi semangat saya belum padam."
kimhyelin211@korea.kr