Penulis: Wartawan Kehormatan Rizka Anjani dari Indonesia
Tahukah Anda kalau masyarakat Korea menandai usia satu tahun sebagai salah satu momen spesial dalam hidup melalui doljanchi? Dol bermakna 12 bulan penuh sedangkan janchi bermakna pesta. Berbeda dengan pesta ulang tahun biasa yang disebut saengil pati, kata janchi biasanya digunakan untuk perayaan besar dan khusus. Usia satu tahun dianggap sebagai pencapaian luar biasa dan patut dirayakan karena kematian anak-anak yang belum berusia satu tahun akibat sakit ataupun kelaparan pernah menjadi hal yang lumrah di Korea pada zaman dulu.
Doljanchi, yang disebut juga cheotdol, diselenggarakan dengan beragam perlengkapan dan sajian. Doljabi adalah ciri khas dari perayaan ini di mana anak yang berulang tahun akan memilih salah satu atau dua dari berbagai barang yang disediakan. Barang-barang tersebut menyimbolkan profesi maupun kondisi anak di masa depan.
Benda doljabi tradisional berupa benang (panjang umur), pensil atau kuas atau buku (sarjana atau orang terpelajar), uang (kaya), beras (makmur), serta busur dan panah (militer). Sementara itu, benda modern terdiri dari palu sidang (hakim), mikrofon (penyanyi, selebriti), tetikus (ahli komputer), alat olahraga (atlet), dan stetoskop (dokter). Selain itu, adapula osaek songpyeon (kue beras lima warna), jujube, dan buah-buahan lain yang ditumpuk di wadah yang disimpan di atas dolsang (meja bundar).
Ilustrasi perlengkapan doljanchi dan turun taneuh (Rizka Anjani)
Selama pelaksanaannya, anak mengenakan hanbok (pakaian tradisional Korea) sementara keluarga dan tamu dapat memakai hanbok atau setelan formal. Kegiatan makan-makan saat
doljanchi tergantung pada ukuran pesta yang diadakan.
Upacara seperti ini juga dilaksanakan oleh masyarakat Sunda melalui
turun taneuh. Turun bermakna turun sementara
taneuh bermakna tanah. Tradisi ini diselenggarakan saat anak yang berumur sekitar tujuh bulan sudah mampu merangkak dan mulai berjalan agar anak tersebut mengetahui dunianya, diketahui akan menjadi apa nantinya, dan diharapkan mampu hidup mandiri.
Turun taneuh merupakan salah satu dari rangkaian upacara adat Sunda yang berhubungan dengan daur hidup manusia.
Berbeda dengan
doljanchi yang dapat dipandu pewara, turun taneuh biasanya dipandu paraji atau
indung beurang (dukun beranak). Meskipun rincian kegiatan
turun taneuh tergantung pada pelaksananya, garis besarnya berupa kegiatan menginjak tanah, naik tangga tebu, sawer (melempar uang, beras maupun permen), berdoa bersama untuk keselamatan anak, serta membagi makanan pada tetangga.
Ilustrasi doljanchi dan turun taneuh (Rizka Anjani)
Paraji akan membimbing anak menginjakkan kakinya ke atas barang-barang yang ditata di atas tikar atau kain putih. Barang-barang tersebut dapat berupa nasi ketan tujuh warna, arang, atau benda-benda lainnya. Anak juga dibimbing menaiki anak tangga yang terbuat dari tebu. Setelah itu, anak akan memegang salah satu benda yang terdiri dari segenggam padi (petani), perhiasan emas (orang terhormat atau berpangkat), dan uang (pengusaha).
Benda-benda lain misalnya alat tulis juga bisa ditambahkan sebagai simbol profesi anak nantinya. Setelah itu, kerabat maupun tetangga yang berkumpul diberi makanan. Kemudian, mereka menangkap uang maupun permen yang dilemparkan saat sawer, kegiatan yang juga dilakukan saat upacara pernikahan.
Meskipun mirip,
doljanchi dan
turun taneuh memiliki beberapa perbedaan yang dilatarbelakangi dan mencerminkan nilai-nilai kehidupan dari masyarakatnya. Terlepas dari benar atau tidaknya prediksi dari
doljanchi dan
turun taneuh, keduanya adalah kegiatan yang bertujuan untuk mensyukuri salah satu fase kehidupan manusia dan memberikan harapan serta doa untuk kebaikan dan kesejahteraan anak di masa yang akan datang.
margareth@korea.kr
*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net yang berasal dari seluruh dunia serta membagikan cinta dan semangat mereka untuk semua hal yang berhubungan dengan Korea Selatan.