Ada pepatah, gosaegchangyeon. Artinya semakin dalam jejak waktu, semakin jelas keindahannya. Buku bekas memang seperti itu. Buku bekas tidak hanya berarti buku yang sudah tua dan usang. Buku bekas merupakan media penting yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Bbuku bekas juga merupakan wadah berharga yang berisi kehidupan manusia, semangat, sejarah, dan budaya. Di era media digital yang hanya mengejar kecepatan dan efisiensi, dengan melihat kebijaksanaan kuno yang terkandung dalam kertas yang sudah pudar, makna dan nilai yang tersirat dari buku bekas mungkin tampak istimewa.
Penulis: Wu Jinhua dan Gil Kyuyoung
Saat berjalan di sepanjang Sungai Seine yang melintasi Paris, kios hijau menarik perhatian orang-orang. Itu adalah bouquinistes yang merupakan tempat terkenal di Paris yang sudah ada sejak abad ke-16. Bouquinistes yang menjual buku bekas dan antik, lukisan, dan kartu pos dalam kotak hijau berarti kios jalan buku bekas dalam bahasa Prancis. Kosakata tersebut berasal dari kosakata bouquin yang berarti buku bekas dan buku kuno.
Tempat yang terdaftar sebagai aset budaya takbenda Prancis pada tahun 2019 ini terancam dibongkar paksa karena penyelenggaraan Olimpiade Paris. Pemerintah Kota Paris memberitahukan pembongkarannya karena upacara pembukaan Olimpiade Paris akan digelar di Sungai Seine. Berkat perlawanan dan pertentangan banyak warga termasuk pengelola toko buku, tempat terkenal yang memiliki sejarah lebih dari 400 tahun berhasil mempertahankan eksistensinya. Nilai buku bekas kembali menjadi sorotan.
Mengapa banyak orang berusaha untuk melestarikan dan melindungi buku bekas? Bobot waktu yang terkandung dalam buku bekas agak tebal dan berat untuk didefinisikan maknanya hanya berdasarkan usianya.
Mari kita kembali ke masa lalu. Di Korea, toko buku bekas dalam bentuk kios pinggir jalan muncul untuk pertama kalinya di pasar yang sebagian besar dibuat oleh kalangan rakyat setelah kemerdekaan dan Perang Korea (1951-1953). Dengan menjalani masa industrialisasi pada tahun 1970-an, jalan toko buku bekas di Korea mencapai masa kejayaannya.
Bouquinistes yang pertama kali muncul pada abad ke-16 dan membentang di sepanjang Sungai Seine di Paris, Prancis, mengacu pada kios jalan buku bekas yang menjual buku bekas dan antik, lukisan, kartu pos, dan sebagainya dalam kotak hijau. Di Korea, toko buku bekas dalam bentuk kios pinggir jalan muncul untuk pertama kalinya di pasar yang sebagian besar dibuat oleh kalangan rakyat setelah kemerdekaan dan Perang Korea. Dengan menjalani masa industrialisasi pada tahun 1970-an, jalanan toko buku bekas di Korea mencapai masa kejayaannya. Contoh yang representatif adalah Jalan Toko Buku Bekas Cheonggyecheon. Foto kiri adalah Bouquinistes yang terletak di Sungai Seine, Paris, dan Foto kanan adalah Jalan Toko Buku Bekas Cheonggyecheon. (Yonhap News, Museum Cheonggyecheon)
Saat itu, di Jalan Toko Buku Bekas Cheonggyecheon saja sekitar 200 toko buku bekas berkembang dengan baik dengan rata-rata pengunjung lebih dari 20.000 orang per hari. Karena perekonomian berada dalam masa-masa sulit, masyarakat lebih memilih buku bekas daripada buku baru yang mahal, dan toko buku bekas dipenuhi oleh orang-orang dari seluruh penjuru Korea.
Berbagai orang yang mulai dari pelajar yang mencari buku pelajaran hingga intelektual yang menginginkan demokratisasi sering mengunjungi toko buku bekas untuk mengejar impian mereka. Toko buku bekas bukan sekadar tempat berdagang buku bekas, melainkan ruang pertukaran ilmu serta talenta secara aktif.
Ada pepatah
Hwamushibilhong.
Hwamushibilhong berarti tidak ada bunga merah yang mekar selama sepuluh hari. Jalan toko buku bekas yang dulu berkembang pesat perlahan-lahan kehilangan vitalitasnya. Saat memasuki era digital, pasar penerbitan yang berpusat pada buku kertas menghadapi resesi yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajar saja, pasar buku bekas sedikit demi sedikit mengecil.
Seruan terdengar di sana-sini bahwa era buku kertas berakhir karena menurunnya populasi pembaca buku dan meningkatnya konsumsi konten daring yang berpusat pada media digital. Pada akhirnya, kekhawatiran tersebut berubah menjadi kenyataan dan ruang untuk buku bekas menjadi semakin berkurang.
Situasi yang dihadapi oleh toko buku bekas di luar Korea juga sama. Khususnya, setelah terjadinya COVID-19, bahkan Shakespeare and Company yang merupakan toko buku bekas Prancis yang memiliki sejarah 100 tahun pernah mengalami kesulitan manajemen. Sekadar untuk bertahan hidup dan eksistensi, mereka merintis saluran penjualan baru bernama penjualan daring dan masih bernafas hingga saat ini, tetapi realitasnya masih menyesakkan.
Dalam hal ini, kasus Jepang cukup membesarkan hati. Jinbocho yang merupakan jalan toko buku bekas terbesar di dunia masih terkenal bagi para penduduk lokal dan wisatawan yang berkunjung ke Jepang. Ini bukan sekedar tempat jual beli buku bekas. Ini adalah ruang kebudayaan kompleks di mana berbagai budaya berkumpul dengan berpusat pada buku bekas. Ini adalah tempat seperti pulau harta karun di mana para pencinta buku menghabiskan waktu mereka dengan santai dengan berfokus pada kehidupan berdampingan daripada kompetisi. Inti hal ini berada di perantara yang disebut buku bekas.
Korea tidak terkecuali. Pemerintah Kota Seoul telah mempromosikan proyek untuk menghidupkan kembali buku bekas dan budaya buku bekas sejak lama. Dalam konteks yang sama, Jalan Toko Buku Bekas Cheonggyecheon di Seoul ditetapkan sebagai Warisan Budaya Masa Depan Seoul pada tahun 2013. Dasar untuk mempromosikan proyek ini adalah kesepakatan antara pemerintah dan warga yang ingin menjamin hak warga atas kenikmatan budaya. Selain itu, mereka ingin memandang memori serta kenangan bersama masa lalu sebagai warisan budaya yang layak diwariskan kepada generasi masa depan melalui buku bekas.
Selangkah lebih maju, muncul toko buku bekas umum dengan sistem unik Korea. Contoh yang representatif adalah Seoul CHAEKBOGO yang dibuka pada tahun 2019 di bawah kepemimpinan pemerintah Kota Seoul dan perpustakaan Seoul. Seoul CHAEKBOGO merayakan hari jadinya yang kelima pada tahun 2024.
Seoul CHAEKBOGO yang merupakan toko buku bekas di Kota Seoul yang memiliki rak buku lengkungan yang menggambarkan kutu buku. (Seoul CHAEKBOGO)
Tempat ini dibuat ketika Pemerintah Kota Seoul merenovasi gudang logistik di sebuah ruangan yang tidak terpakai. Saat ini, buku-buku dari 33 toko buku bekas dijual secara konsinyasi dan jumlah buku yang tersedia merupakan kira-kira 130.000 jilid. Masuk akal kalau pengunjung memikirkan ruang tersebut sebagai tempat pengunjung dapat bertemu buku-buku dari toko buku bekas di seluruh Korea.
Tidak seperti toko buku atau perpustakaan biasa, rak buku Seoul CHAEKBOGO dikategorikan berdasarkan toko buku bekas, bukan berdasarkan judul atau genre. Ini merupakan ciri khas Seoul CHAEKBOGO. Hal ini adalah untuk menjaga identitas setiap toko buku bekas dengan tetap menjaga sensibilitas analognya. Fokusnya adalah memberikan kesempatan bertemu dengan buku melalui estetika kelambatan dalam masyarakat modern yang menghargai kecepatan dan efisiensi.
Dengan mengesampingkan kekhawatiran semua orang, Seoul CHAEKBOGO sukses besar. Pada tahun 2019 sebelum COVID-19, sekitar 8.500 orang mengunjungi Seoul CHAEKBOGO per minggu. Berbeda dengan perkiraan bahwa banyak orang paruh baya akan berkunjung ke Seoul CHAEKBOGO, jumlah perempuan berusia 20-an hingga 40-an yang mengunjungi Seoul CHAEKBOGO setelah melihat media sosial atau keluarganya banyak. Selain itu, berkat popularitas K-drama secara global, banyak wisatawan asing yang mengunjungi Seoul CHAEKBOGO secara langsung setelah mengetahuinya melalui layanan video daring (OTT) seperti drama
Hotel del Luna.
Dengan mengomentari keberhasilan ini, kepala tim perencanaan dan hubungan masyarakat di Seoul CHAEKBOGO Hans Lee menjelaskan arti buku bekas dengan mengatakan, "Generasi tua merindukan buku bekas dan generasi muda menerima buku bekas yang hanya mereka temui di buku atau video sebagai budaya dan pengalaman baru."
Foto di atas merupakan Buku-buku yang dipajang di Seoul CHAEKBOGO. Setiap bulannya, berbagai program seperti pameran, ceramah, dan pertunjukan diadakan secara gratis. (Wu Jinhua)
Saat ini, buku bekas tidak hanya eksistensi yang berada di lemari dan ditinggalkan dengan debu-debu lama. Buku bekas mulai diakui baru sebagai aset budaya yang patut diakui nilainya dan dilindungi serta dijaga.
Menurut statistik Pameran Buku Internasional Paris Pameran Buku Internasional Paris, pasar buku bekas di Prancis telah berkembang selama beberapa tahun. Pada tahun 2022, 80 juta buku bekas diperdagangkan sehingga mencapai penjualan sebesar 350 juta euro. "Pada tahun 2023, terdapat lebih dari 2.000 toko buku bekas di Prancis. Penjualan tahunan mencapai 200 juta hingga 300 juta euro", kata presiden SLAM (Syndicat national de la librairie ancienne et moderne) Jean-Marc Dechaud.
Kepala tim Lee mengatakan, "Di luar Korea, orang-orang saat ini sedang membangun ekosistem buku bekas mereka sendiri yang bisa hidup berdampingan dengan toko buku besar. Mereka menganggap buku bekas sebagai barang antik dan memperdagangkannya melalui lelang."
Ia menambahkan, "Di Korea, pasar buku bekas yang lengkap belum dibentuk. Akan tetapi, pertukaran buku bekas yang berharga terjadi di kalangan pencinta buku bekas dan sedikit demi sedikit menyebar di sekitar mereka."
Hyeon Man-soo, CEO Christian Bookstore mengatakan, "Hanya ketika toko buku bekas berkembang dengan baik, industri penerbitan akan bertahan. Hal tersebut berkontribusi terhadap keragaman dan perkembangan budaya. Untuk hidup berdampingan, kami harus bekerja sama seperti roda gigi."
Dia telah menjalankan toko buku bekas di Cheonggyecheon selama 35 tahun. Ia kembali menegaskan, buku bekas dan toko buku bekas tidak boleh hilang.
"Banyak sekali buku yang diterbitkan dan hilang setiap hari. Buku bekas adalah buku paling berharga yang dipilih oleh para pembaca," kata kepala tim Lee. Mungkin suatu era di mana kita secara serius mempertimbangkan nilai buku bekas mungkin akan datang.
Toko buku bekas bukan hanya tempat di mana pengunjung bisa membeli buku dengan harga lebih murah dibandingkan toko buku biasa. Ada sejarah kertas melalui peperangan, percobaan dan kesalahan yang dilakukan penerbit dan penulis, perubahan teknologi percetakan, kehidupan masyarakat, kebijaksanaan dan keceriaan nenek moyang, warna zaman, serta garis-garis yang muncul darinya. Oleh karena itu, ada romansa yang tiada berakhir.
Petikan dari A Very Old Bookstore karya Mitsuyo Kakuta
jane0614@korea.kr