Kang Bang-Hwa
Profesor Institut Penerjemahan Sastra Korea
Pada minggu pertama bulan Agustus, saya melakukan perjalanan dinas ke Osaka. Tujuannya adalah menghadiri upacara penghargaan Kontes Penerjemahan Sastra Korea sebagai juri. Kontes tersebut diselenggarakan oleh Korean Cultural Center Osaka sejak tahun 2024.
Sastra Korea belakangan ini juga mendapat perhatian besar di Jepang. Setelah K-pop, istilah K-literatur pun kini sering muncul di berbagai media. Jumlah orang yang mulai belajar bahasa Korea dengan memanfaatkan lagu, penyanyi, film, maupun drama Korea juga meningkat tajam.
Orang yang tertarik pada bahasa biasanya juga ingin memahami budaya negara tersebut. Lebih jauh lagi, semangat itu tampaknya berkembang hingga ke ranah penerjemahan. Sama seperti tahun sebelumnya, banyak peserta yang mengikuti kontes tahun ini. Saya berpikir bahwa mereka meraih kehormatan sebagai pemenang berkat kerja keras serta jerih payah yang tak ternilai.
Sebagai komentar juri, saya biasanya mengatakan, "Meski kita hidup di negara dan dunia yang berbeda, kita menemukan kesamaan manusiawi dalam sastra dan mendapat penghiburan. Namun, barangkali penerjemahan bukanlah soal menemukan kesamaan, melainkan mengungkap perbedaan agar pihak lain dapat memahaminya."
Bahasa Korea dan bahasa Jepang selama ini dipandang memiliki banyak kesamaan. Kedua bahasanya menggunakan aksara Tionghoa, memiliki struktur kalimat yang mirip, serta mengenal sistem honorifik. Akan tetapi, apakah kesamaan linguistik itu berarti semuanya sama? Tentu saja tidak. Jika diteliti lebih dalam, terdapat banyak perbedaan, mulai dari cara berbicara dan bahasa tubuh yang bergantung pada relasi serta situasi, hingga ekspresi dan tingkat pengungkapan emosi.
Sebagai contoh rasa ingin tahu orang Jepang yang begitu menyukai Korea, mereka sering bertanya. Mengapa orang Korea masuk ke pemandian air panas lalu berkata "sejuk"? Apa yang dirasakan saat seseorang dipanggil dengan nama lengkapnya? Mengapa orang Korea menyebut istrinya dengan istilah "wife"?
Secara pribadi, saya merasa perbedaan yang paling mencolok terlihat ketika terjadi pertengkaran. Orang Korea cenderung beralih dari bahasa hormat ke bahasa informal secara tiba-tiba ketika emosi memuncak, sementara orang Jepang justru sebaliknya. Orang Jepang biasanya menggunakan bahasa informal, tetapi tiba-tiba beralih ke bahasa hormat ketika suasana menjadi dingin.
Sementara itu, berbagai acara digelar di kedua negara sepanjang tahun ini dalam rangka memperingati 60 tahun normalisasi hubungan diplomatik antara kedua negara. Kalau begitu, perubahan apa saja yang telah terjadi di antara kita selama waktu tersebut? Kebetulan, saya diundang dalam sebuah kuliah pakar yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri, dan hal itu membuat saya kembali merenungkannya, meski dari sudut pandang yang sangat pribadi.
Saya tumbuh dalam lingkungan yang relatif penuh dengan buku. Itu karena ayah saya seorang kutu buku, dan bahkan di ruang anak-anak tidak hanya ada karya anak-anak, tetapi juga sastra Jepang dan dunia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang bercampur bersama. Jadi secara alami, kami mulai membaca karya-karya terjemahan dan menemukan nama-nama asing, budaya, pemandangan, serta alur cerita yang belum pernah dialami sebelumnya.
Salah satu buku tersebut adalah Diary of Yunbogi, sebuah karya yang saya ambil dari rak buku suatu hari. Saya pikir itu adalah buku anak-anak, lalu membukanya tanpa berpikir panjang. Tidak lama kemudian, saya diliputi oleh perasaan aneh yang belum pernah saya rasakan dari buku terjemahan mana pun yang saya baca sebelumnya. Perasaan itu membuat saya ingin menolak sesuatu tanpa syarat, bertanya, Apakah itu kami? Tidak, sama sekali bukan.
Tokoh utama buku itu hidup berani melalui luka perang, kemiskinan ekstrem, dan perpisahan dari keluarga. Saat itu, saya masih di kelas rendah sekolah dasar dan tahu bahwa saya orang Korea, tetapi saya tidak bisa berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Korea. Bagi saya, Korea adalah negara yang jauh, tempat saya berkunjung setahun sekali bersama keluarga untuk bertemu kerabat. Apakah pada saat itu kata "kita" yang terlintas di benak saya adalah "kita" sebagai manusia, "kita" sebagai orang Korea, atau "kita" sebagai generasi ketiga keturunan Korea yang hidup di Jepang?
Mungkin sejak saat itu, saya mencoba menjaga jarak dari Korea. Buku itu memiliki isi yang terlalu mengerikan bagi saya yang masih kecil, dan mungkin dengan berpaling dari Korea, saya ingin tetap tinggal di dunia yang tenteram. Tetapi seperti semua orang yang bertambah dewasa, saya perlahan menyadari bahwa tidak seorang pun bisa hidup selamanya di dunia seperti itu.
Setelah lulus universitas, saya pindah ke Korea untuk belajar. Awalnya saya pikir saya akan puas hanya dengan mempelajari bahasanya. Tetapi setelah melakukannya, saya mulai ingin membaca novel Korea, yang kemudian membuat saya lebih penasaran tentang kehidupan orang Korea. Meskipun kami menggunakan kata yang sama dalam percakapan, karena negara dan budaya tempat kami tumbuh berbeda, saya ingin menyelidiki apakah saya benar-benar menggunakan kata itu dengan perasaan yang sama seperti lawan bicara saya.
Identitas saya saat ini bukanlah sebagai orang Jepang maupun orang Korea, melainkan sebagai generasi ketiga jaeil gyopo. Ketiga hal ini dalam beberapa aspek saling mirip, serupa, tetapi juga sangat berbeda. Pada akhirnya, saya kira hidup saya serupa, tetapi ternyata begitu berbeda hingga saya terkejut, dan mungkin justru karena rasa ingin tahu yang timbul dari perbedaan itu saya sampai di titik ini. Bagi saya, penerjemahan sastra adalah pekerjaan yang membantu pembaca untuk memahami, sekaligus menjadi proses yang perlahan-lahan menjawab rasa penasaran saya sendiri.
Ketika saya menjalani hidup dengan sungguh-sungguh, ternyata dunia sudah berubah. Rasanya seperti tiba-tiba melihat matahari terbenam saat sedang menatap keluar jendela di tempat kerja. Di Korea, saya bisa mendengar banyak lagu Jepang di televisi. Sementara itu, di Jepang ada kelas yang mengajarkan teknik rias ala Korea. Setiap hari saya melihat manusia yang dengan berani langsung bertanya dan berusaha memahami ketika merasa penasaran. Mereka melakukannya alih-alih terkejut oleh perbedaan lalu membangun tembok atau menjaga jarak. Hal itu membuat saya merasa puas dalam hati.
Saya percaya seorang penerjemah adalah seseorang yang bermimpi bersama penulis sambil berkelana di antara realitas dan dunia karya. Ketika kita tumbuh dengan rasa ingin tahu terhadap hal-hal baru dan asing, lalu belajar, menerima, serta merangkulnya, barulah kita benar-benar bisa saling memahami dan bermimpi tentang masa depan bersama.
Profesor Kang Bang-Hwa membimbing program bahasa Jepang di Akademi Penerjemahan Institut Penerjemahan Sastra Korea sejak tahun 2016.