Wartawan Kehormatan

2024.04.24

Membaca artikel ini dalam bahasa yang lain
  • 한국어
  • English
  • 日本語
  • 中文
  • العربية
  • Español
  • Français
  • Deutsch
  • Pусский
  • Tiếng Việt
  • Indonesian

Penulis: Wartawan Kehormatan Frenky Ramiro de Jesus dari Timor-Leste
Foto: Frenky Ramiro de Jesus


"Apakah Musim Semi Akan Datang di Ladang yang Dirampas?" merupakan salah satu puisi terkenal yang ditulis oleh Lee Sang-hwa, seorang penyair muda berbakat di era tahun 1920-an. Karyanya memberikan dampak yang luar biasa pada dunia sastra modern Korea. Sebagian besar karyanya secara terbuka mengkritik pemerintahan kolonial Jepang yang sangat berbahaya untuk dilakukan saat itu.

Selain sebagai seorang penyair, Lee pun merupakan seorang penulis, aktivis kemerdekaan, kritikus dalam bidang sastra, penerjemah, dan juga seorang petinju pada masa penjajahan Jepang. Ia lahir pada tanggal 5 April 1901 di Daegu dari pasangan Lee Si-woo dan Kim Shin-ja serta merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

240424_Lee Sang Hwa_1

Tampak dari luar dan dalam kediaman lama Lee Sang-hwa yang terletak di Jung-gu, Daegu.


Sebagai salah satu pecinta sejarah Korea, pada tanggal 20 April penulis mengunjungi kediaman lamanya di Jung-gu, monumennya di taman Duryu, dan tugu puisinya yang didirikan di Taman Dalseong Daegu.

Rumah tersebut ditempatinya hanya berkisar empat tahun lamanya mulai dari tahun 1939 hingga 1943 setelah akhirnya meninggal dengan diagnosa kanker lambung. Kediaman lama Lee terdiri dari rumah utama, sarangchae (bagian di dalam rumah tradisional Korea untuk menerima tamu), halaman dan tempat khusus untuk jangdokdae (bagian luar rumah tradisional Korea untuk menyimpan tempayan).

Memasuki pintu utama rumah tersebut, tepat di bagian kiri terdapat pajangan buku biografi beserta foto keluarganya. Penulis kemudian memasuki rumah utama dan mulai membaca biografi lengkap dan kisah perjalanannya.

240424_Lee Sang Hwa_2

Ruang utama dengan berbagai informasi pendidikan, kehidupan, serta berbagai buku hasil karya puisi dan novel Lee Sang-hwa.


Di usia mudanya, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan aksi kemerdekaan termasuk Gerakan Kemerdekaan 1 Maret 1919 di Daegu yang turut mengupayakan pemulihan kedaulatan Korea melawan pemerintah kolonial Jepang.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Jungdong di Seoul, Lee berencana untuk melanjutkan pendidikannya di Prancis. Guna menunjang kemampuannya dalam berbahasa, ia menempuh studi sastra Prancis di Jepang pada tahun 1922. Namun, ia kembali ke Korea setahun kemudian karena Gempa Besar Kanto, bencana alam terburuk yang melanda Jepang pada September 1923.

Berbeda dari ketiga saudaranya yang lain, Lee lebih memilih untuk menjadi seorang pengajar bahasa Inggris dan Perancis di Sekolah Menengah Atas Daeryun, Daegu.

240424_Lee Sang Hwa_3

Kiri: Biografi Lee Sang-hwa dan ketiga saudaranya. Kanan: tampak plakat mendiang serta foto ayah dan ibu Lee Sang-hwa di ruang keluarga.


Setelah membaca biografi Lee, penulis beralih ke ruang kerja Lee yang direnovasi dengan indah, serta berbagai buku hasil karya puisi dan novelnya yang terawat dengan sangat baik dalam kaca transparan yang mudah dilihat dari luar.

Dikenal dengan nama pena Sanghwa, Muryang, dan Baekah, Lee Sang-hwa memulai debutnya di dunia sastra sebagai anggota majalah Swan pada tahun 1922 dan aktif sebagai pionir puisi modern. Puisi pertama yang ditulisnya berjudul "To My Bedroom," sebuah karya yang menceritakan tentang seseorang yang sempat berpikir untuk bunuh diri agar mendapatkan cinta sejati.

240424_Lee Sang Hwa_4

Kiri: Tugu puisi berjudul "Apakah Musim Semi Akan Datang di Ladang yang Dirampas?" yang terletak tepat di halaman depan rumah Lee Sang-hwa. Kanan: Tugu puisi berjudul "To My Bedroom" yang didirikan di Taman Dalseong, Daegu.


Puncak dari ketenaran Lee adalah melalui karya puisinya "Apakah Musim Semi Akan Datang di Ladang yang Dirampas?" pada tahun 1926 yang diterbitkan dalam majalah ternama saat itu, yaitu Kaebyuk edisi ke-70. Puisi tersebut menggambarkan kesengsaraan bangsa yang tertindas, serta kesedihan dan kemarahan akibat kolonialisme yang melanda Korea saat itu. Puisi ini sangat menyentuh karena merupakan curahan hati semua warga Korea yang tertindas.

Dianggap sebagai puisi anti-Jepang, Lee sempat diinterogasi oleh militer Jepang. Selain itu, penerbitan Kaebyuk edisi ke-70 yang mempublikasikan puisi anti-Jepang karya Lee pun menjadi akhir dari kelanjutan majalah tersebut.

Menginjak usinya yang ke-33, Lee mendirikan klub tinju di sekolah Gyeonam dan aktif sebagai petinju. Ia ingin menyeimbangkan antara sastra dan olahraga untuk menjaga kesehatan raga dan jasmani.

Keterlibatannya sebagai aktivis kemerdekaan membuatnya mendapatkan berbagai penganiayaan dari militer Jepang. Akibat berbagai penyiksaan tersebut, kesehatan Lee pun memburuk. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 25 April 1943 karena kanker lambung.

240424_Lee Sang Hwa_5

Monumen Lee Sang-hwa beserta puisinya "Apakah Musim Semi Akan Datang di Ladang yang Dirampas?" yang didirikan di Taman Duryu yang berlokasi di Duryugongwon-ro, Dalseo-gu, Daegu.


Lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1948, tugu dengan puisi karya Lee Sang-hwa yang berjudul "To My Bedroom" didirikan di Taman Dalseong Daegu dan merupakan tugu pertama sebagai peringatan pencapaian sastra modern Korea, begitupun monumen Lee Sang-hwa yang didirikan di Taman Duryu, Daegu.

Untuk menghormati semangat Lee Sang-hwa, kediaman lamanya yang terletak di Jung-gu Daegu, direstorasi pada tahun 2002.

Pada tahun 2008, rumah Lee pun dibuka sebagai museum pada peringatan kemerdekaan Korea yang ke-63. Di kediaman itu, Lee menulis puisi terakhirnya, "A Doleful Melody" sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.



margareth@korea.kr

*Artikel ini ditulis oleh Wartawan Kehormatan Korea.net. Wartawan Kehormatan merupakan komunitas masyarakat dunia yang menyukai Korea dan membagikan minat mereka terhadap Korea dalam bentuk tulisan.

konten yang terkait