Sosial

2025.08.12


Lee Na-Young, Ketua Dewan Korean Council for Justice and Remembrance for the Issues of Military Sexual Slavery by Japan, pada tanggal 24 Juli 2025 berfoto di depan gambar karya korban jugun ianfu militer Jepang, Kang Duk-kyung.

Lee Na-Young, Ketua Dewan Korean Council for Justice and Remembrance for the Issues of Military Sexual Slavery by Japan, pada tanggal 24 Juli 2025 berfoto di depan gambar karya korban jugun ianfu militer Jepang, Kang Duk-kyung.



Penulis: Lee Jihae
Foto: Lee Jihae

Tanggal 14 Agustus diperingati sebagai Hari Peringatan untuk Korban "jugun ianfu" militer Jepang. Pada tanggal 14 Agustus 1991 almarhumah Kim Hak-soon menjadi korban pertama yang secara terbuka memberikan kesaksian mengenai pengalamannya sebagai korban “jugun ianfu.” Untuk mengenang hari tersebut, menjaga agar sejarah terkait tidak terlupakan, serta memulihkan martabat dan kehormatan para korban, pemerintah Korea menetapkannya sebagai hari peringatan nasional sejak tahun 2018.

Korea.net pada tanggal 24 Juli 2025 mewawancarai Ketua Korean Council for Justice and Remembrance for the Issues of Military Sexual Slavery by Japan, yang juga profesor di Universitas Chung-Ang, Lee Na-young. Ia telah lama berjuang melawan pihak-pihak yang berusaha menutupi kebenaran dan mengabadikan suara para korban militer Jepang dalam bentuk catatan. Ia menekankan, "Kenangan hidup saat dicatat, dan memiliki kekuatan ketika kita bersolidaritas." Berikut tanya jawab dengan Ketua Lee.

- Terdapat perdebatan mengenai penggunaan istilah, termasuk "jugun ianfu" dan "budak seks." Istilah mana yang tepat?

"Jugun ianfu" adalah istilah yang mencerminkan sudut pandang pelaku laki-laki, dengan menghapuskan unsur pemaksaan dan kekerasan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan istilah resmi "perbudakan seksual oleh militer Jepang." Namun, para korban merasakan penderitaan besar dengan istilah "budak seks," sehingga penggunaannya sangat berhati-hati. Karena istilah "jugun ianfu" memiliki konteks historis sebagai istilah yang digunakan militer Jepang, meski saya tidak menyetujuinya, saya menulisnya dengan tanda petik tunggal untuk menunjukkan makna "yang disebut." Pemerintah Korea dan Korean Council for Justice and Remembrance for the Issues of Military Sexual Slavery by Japan menggunakan istilah korban "jugun ianfu" militer Jepang dengan secara tegas menyebut pelaku kejahatan, yaitu militer Jepang.

- Pada tahun 2016 upaya untuk mendaftarkan dokumen "korban jugun ianfu militer Jepang" yang dikumpulkan melalui kerja sama Korea dan tujuh negara lainnya sebagai Warisan Ingatan Dunia UNESCO gagal. Apa latar belakang kegagalannya?

Pada tanggal 18 Mei 2016 sebanyak 14 organisasi sipil dari delapan negara (Korea, Jepang, Tiongkok, Taiwan, Filipina, Indonesia, Timor-Leste, dan Belanda) mengadakan upacara penandatanganan bersama untuk mengajukan pendaftaran dokumen "jugun ianfu" militer Jepang sebagai Warisan Ingatan Dunia. Dokumen yang dikumpulkan berjumlah 2.744 item, mencakup kesaksian para korban di masing-masing negara, dokumen sejarah, catatan kegiatan, serta foto dan video sehingga menjadikannya koleksi terbesar dalam sejarah.

Namun, setelah mengetahui hal ini, kelompok sayap kanan Jepang mengajukan aplikasi tandingan. Pemerintah Jepang, yang saat itu merupakan penyumbang dana terbesar bagi UNESCO, menekan dengan mengatakan bahwa "jugun ianfu" tidak boleh didaftarkan, bahkan menghentikan pembayaran iurannya. Akhirnya, organisasi sipil tidak dapat mengajukan pendaftaran dan peraturan diubah agar peninjauan hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan antar pemerintah. Selain itu, jika ada satu negara saja yang menolak, maka pendaftaran dokumen tidak dapat dilakukan. Inilah alasan mengapa dokumen tentang jugun ianfu militer Jepang hingga kini belum terdaftar.

Sebuah gambar di War and Women';s Human Rights Museum di Mapo-gu, Seoul.

Sebuah gambar di War and Women';s Human Rights Museum di Mapo-gu, Seoul.



- Mengapa Pernyataan Kato (1992) dan Kono (1993) dari pemerintah Jepang tidak dianggap sebagai permintaan maaf yang tulus terkait masalah ini?

Dengan berkembangnya gerakan hak-hak perempuan di Korea, korban mulai bersuara, dan ditemukannya dokumen-dokumen sejarah, pemerintah Jepang tidak dapat lagi terus menyangkal sejarah. Pada tahun 1992 dikeluarkanlah Pernyataan Kato atas nama Sekretaris Kabinet Koichi Kato. Pernyataan ini untuk pertama kalinya mengakui keterlibatan militer Jepang dalam masalah tersebut dan secara parsial mengakui adanya unsur pemaksaan. Namun, pernyataan ini menuai kritik karena menghilangkan rincian penting, termasuk pengungkapan kebenaran dan kompensasi hukum.

Pada tahun 1993 Pernyataan Kono yang dikeluarkan oleh Sekretaris Kabinet Yohei Kono mengakui bahwa perempuan direkrut secara paksa dalam proses perekrutan dan berjanji akan memasukkan hal ini dalam pendidikan sejarah. Namun, pernyataan ini mengalihkan tanggung jawab pidana kepada perusahaan swasta dan secara tegas menyangkal adanya pelanggaran hukum. Selain itu, parlemen Jepang tidak pernah mengadopsi pernyataan ini sehingga tidak dapat dianggap sebagai permintaan maaf yang tulus. Masalah yang lebih serius adalah upaya Tokyo yang terus-menerus untuk merusak isi pernyataan tersebut melalui distorsi konten buku pelajaran sejarah.

- Apa saja masalah dari perjanjian bilateral yang dicapai pada tahun 2015 terkait isu ini?

Perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sah. Dari segi prosedur, tidak ada laporan kepada Majelis Nasional atau dengar pendapat publik, dan naskah perjanjian tersebut tidak memiliki tanda tangan. Pengumumannya juga dilakukan dalam bentuk konferensi pers bersama oleh menteri luar negeri kedua negara. Pernyataan konferensi pers yang dimuat di laman resmi kementerian luar negeri kedua negara pun memiliki perbedaan.

Isi perjanjian juga bermasalah. Pemerintah Jepang menyangkal tanggung jawab hukum, dengan mengklaim bahwa 1 miliar yen yang diberikan bukanlah kompensasi (ganti rugi atas tindakan ilegal) melainkan uang penghiburan. Selain itu, Jepang menyatakan bahwa masalah ini telah diselesaikan secara final dan tidak dapat diubah, sebagai upaya untuk menghentikan pembahasan lebih lanjut. Jepang bahkan menuntut penghapusan patung jugun ianfu sehingga membuat ketulusan permintaan maafnya diragukan.

Masalah yang lebih besar adalah bahwa perjanjian ini gagal mencerminkan suara para korban yang selama ini mendambakan pemulihan hak asasi manusia dan kehormatan mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyebut perjanjian ini sebagai "kesepakatan politik" yang menyimpang dari pendekatan berpusat pada korban. PBB secara konsisten menegaskan bahwa perjanjian tersebut bukanlah solusi yang tulus terhadap masalah ini, sehingga badan tersebut terus mengajukan rekomendasi dan laporan.


Patung jugun ianfu militer Jepang di War and Women;s Human Rights Museum, Mapo-gu, Seoul.

Patung jugun ianfu militer Jepang di War and Women;s Human Rights Museum, Mapo-gu, Seoul.



- Apa masalah dengan peluncuran Asian Women's Fund oleh Jepang pada tahun 1995?


Dana ini bukanlah kompensasi resmi dari pemerintah Jepang, melainkan kampanye penggalangan dana masyarakat sipil. Hal ini dianggap sebagai upaya pemerintah Jepang untuk menghindari tanggung jawab hukum dengan berlindung di balik istilah “tanggung jawab moral.” Karena alasan inilah banyak korban menolak uang tersebut, dan dana ini akhirnya dihentikan pada Maret 2007.

- Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang telah berlangsung lama ini?

Saat ini hanya tersisa enam korban yang secara resmi terdaftar di pemerintah Korea dan masih hidup. Tugas kita adalah mencatat dan melestarikan kenangan mereka bahkan setelah mereka wafat. Korean Council for Justice and Remembrance for the Issues of Military Sexual Slavery by Japan sedang mengerjakan proyek arsip digital. Laman resmi kami mendigitalisasi kesaksian para korban dan materi sejarah, serta menyediakan layanan dalam bahasa Korea, Inggris, dan Jepang.

Kami menyewa satu lantai vila sebagai ruang penyimpanan dan mengelola War and Women's Human Rights Museum di Mapo-gu, Seoul. Kami juga menawarkan kuliah di lokasi bagi pengunjung yang mendaftar minimal 10 orang melalui laman resmi museum. Butterfly Fund kami membantu korban kekerasan seksual pada masa perang di seluruh dunia, meneruskan warisan para "jugun ianfu."

Yang terpenting, kepedulian dan partisipasi publik merupakan kekuatan terbesar untuk melindungi kebenaran. Ingatan memerlukan akuntabilitas, dan akuntabilitas memerlukan tindakan.